Oleh Dr. Nicholay Aprilindo.
JPNIndonesia.com JAKARTA-Moment Idhul Fitri 1444 H, menjadi moment yang indah untuk saling bermaaf-maafan, moment untuk bersilaturahmi menyambung tali kasih setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan yang penuh hikmah dan berkah.
Dengan menggunakan moment Idhul fitri tersebut banyak pihak yang berusaha untuk melakukan berbagai kebaikan secara religius, namun tidak sedikit pihak juga menggunakan moment Idhul Fitri 1444 H sebagai moment “halal bihalal Politik” dalam arti mempolitisasi hari kemenangan dan kebahagiaan Idhul Fitri 1444 H untuk tujuan-tujuan Politik praktis ditahun politik ini (2023) khususnya menjelang Pemilu & Pilpres 2024.
Sebenarnya hal tersebut sah-sah saja selama tidak mengotori dan mencemarkan bulan suci Ramadhan dan hari kemenangan Idhul Fitri dengan tindakan-tindakan politik praktis dalam rangka dukung mendukung capres maupun cawapres tertentu yang akan datang (2024), sebab bila bicara dukung mendukung capres-cawapres tentunya sadar atau tidak sadar timbul “gap” mana yang harus didukung dan mana yang tidak didukung, sehingga menimbulkan pro dan kontra, menimbulkan suka dan tidak suka, menimbulkan perpecahan bathin yang dapat “mengotori suasana kesucian hati dan kemenangan hati” dibulan suci Ramadhan dan di hari kemenangan Idhul Fitri, apalagi membungkus suatu acara silaturahmi menyambung tali asih dengan “halal bihalal Politik” yaitu mengumpulkan ketua-ketua Partai Politik pendukung pemerintah khususnya yang sejalan dalam hal dukung mendukung capres-cawapres tertentu yang sudah “mendapat restu” dari Presiden yang sedang berkuasa dan “dipaksakan” untuk semua Ketua Umum Parpol yang sejalan dalam hal dukung mendukung calon tertentu oleh Presiden dan Ketua Umum Partai Penguasa yang sedang berkuasa.
Istana Negara adalah sebagai Simbol Negara dan Simbol Kekuasaan Negara yang Merdeka dan Berdaulat.
Istana Negara itu sendiri adalah milik Negara dan milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik Partai politik tertentu yang sedang berkuasa, apalagi milik orang-perorang tertentu yang sedang berkuasa tidak terkecuali Presiden yang sedang berkuasa.
Istana Presiden dipergunakan sebagai tempat bekerja sang Presiden, tempat menerima tamu-tamu negara dari berbagai negara yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia, tempat acara kenegaraan lainnya, sehingga Istana Presiden seharusnya “steril” dari kepentingan Politik tertentu atau partai politik tertentu untuk dijadikan sebagai tempat apapun namanya termasuk tempat negosiasi, tempat tim sukses, untuk upaya dukung mendukung capres-cawapres tertentu.
Seperti kita ketahui bersama bahwa sejak bebera hari terakhir ini Istana Negara yang adalah milik Negara dan milik seluruh Rakyat Indonesia, menjadi tempat “halal bi halal politik”, tempat bernegosiasi politik, tempat “dukung mendukung” capres-cawapres tertentu yang khususnya sudah “diajukan dan direstui” oleh Partai Politik Penguasa yang merasa paling berkuasa dan Presiden yang sedang berkuasa dan yang memposisikan diri sebagai “Penentu kekuasaan mendatang”, “Penentu masa depang Bangsa dan Negara Republik Indonesia” dalam suksesi pimpinan nasional pada pilpres 2024 yang akan datang.
Secara kasat mata, rakyat dipertontonkann”arogansi” kekuasaan untuk mendukung capres-cawapres tertentu dengan menggunakan Istana Negara sebagai markas “Tim Pemenangan” capres-cawapres tertentu, yang secara simbolik dapat memberikan signal dan penegasan pesan pada semua aparatur negara, aparatur pemerintahan yang saat ini berada di bawah kendali Partai Penguasa dan Presiden yang sedang berkuasa sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan, bahwa seluruh aparatur negara dan aparatur pemerintahan harus tunduk dan taat pada apa dan siapa yang telah “ditunjuk dan direstui” oleh Presiden/Pemerintah yang sedang berkuasa sebagai capres-cawapres pengganti haruslah “disukseskan dan atau dimenangkan !”
Masyarakat tidaklah sebodoh seperti apa yang dipikirkan oleh para pemburu rente kekuasaan tersebut, masyarakat sudah “cerdas” melihat, menganalisa dan menilai, sehingga alasan apapun dengan dalih apapun, adalah sangat tidak dibenarkan “mengotori kesakralan Istana Negara” sebagai Simbol Negara, mengotori makna dan hikmah dari hari kemenangan Idhul Fitri dengan “halal bi halal Politik” demi tercapainya tujuan politik dukung mendukung capres-cawapres tertentu yang dalam tanda kutip adalah “boneka” kekuasaan para pemburu rente kekuasaan.
Marilah kita semua seluruh komponen anak bangsa harus menyadari untuk mengembalikan fungsi dan kesakralan Istana Negara agar kembali kepada milik Negara, milik seluruh rakyat Indonesia dan sebagai sebagai Simbol Negara RI yang merdeka dan berdaulat, dan kedaulatan itu ada ditangan rakyat sepenuhnya bukan ditangan penguasa.
Kedewasaan berdemokrasi dalam suatu negara demokrasi yang sungguh menjunjung tinggi demokrasi dan hak azasi manusia, tercermin dari para pemimpin negara tersebut !
Penulis adalah aktivis Polhukam & HAM.