Oleh : Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja
Jpnindonesia.com Jakarta-Beberapa saat yang lalu kita telah sama-sama simak live event Deklarasi Bakal Calon Presiden dan Bakal Calon Wakil Presiden kolaisi perubahan yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang berlangsung di Hotel Majapahit Surabaya.
Bagi sebagaian orang bahkan para analis politik tentu ini merupakan peristiwa politik yang mengejutkan (unpredictable), akan tetapi bagi langkah Ketua Umum Partai Nasdem bang Surya Paloh yang memasangkan Anis Baswedan dengan Muhaminin Iskandar adalah langkah politik yang sangat dapat dijelaskan secara rasional.
Insting politik ini tidak muncul secara tiba-tiba karena dalam analisis saya pada awal bulan Agustus ketika Muhaimin Iskandar masih bergandeng mesra dengan Prabowo Subiyanto sudah menyampaikan bahwa Cawapres Anies yang dapat melengkapi kekurangan Anies adalah Muhaimin Iskandar. Ada dua hal setidaknya yang menjadi alasan pokok kenapa Anies Baswedan harus menggandeng Muhaimin Iskandar, yang pertama adalah bahwa harus diakui bahwa baik Anies Baswedan maupun partai pengusung awalnya yaitu Nasdem dan PKS memiliki kelemahan pada dua Provonsi di Indonesia, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Jika dilihat setidaknya sampai hari ini maka dapat dipastikan terdapat tiga calon yang berlaga dalam kontestasi Pilpres tahun 2024 yaitu Ganjar Pranowo yang diusung oleh PDIP dan PPP, Prabowo Subiyanto yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan Anies Baswedan yang diusung koalisi perubahan (Nasdem, PKB dan PKS). Melihat dinamika politik yang berkembang maka Anis Baswedan wajib hukumnnya memenangkan kontestasi pada putaran pertama tanpa melalui ronde kedua, itu artinya bahwa koalisi perubahan harus mampu memenangkan Anies dengan prosentase kemenangan 56-57 % dari suara sah nasional.
Angka kemenangan 57 % adalah angka yang paling realistis untuk mendapatkan kemennangan, akan tetapi 57 % bukan hal yang mudah kita dapatkan, secara matematis Lembaga Survey bahkan ada yang menyebutkan bahwa Anies tidak akan lolos di putaran kedua, tetapi politik bukanlah matematika, ada kekuatan lain yang mampu membuat orang menang dan kalah yaitu kekuatan Tuhan. “Qulillāhumma mālikal-mulki tutil-mulka man tasyāu wa tanzi’ul-mulka mim man tasyāu wa tu’izzu man tasyāu wa tużillu man tasyā, biyadikal-khaīr, innaka ‘alā kulli syaiing qadīr”. Katakanlah : Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Ali Imran ayat 26-27).Jawa merupakan kunci kemenangan
Dalam strategi perang ada dua kemungkinan yang dapat kita lakukan, yaitu lumpuhkan kekuatan lawan jika kita mampu melumpuhkannya, tetapi jika tidak mampu melumpuhkan maka jadikan dia teman dalam perjuangan. Dalam sejarah pemilihan Presiden dapat dipastikan bahwa sehebat apapun suara yang diraihnya diluar Jawa, akan tetapi jika kalah pada dua Provinsi ini maka dapat dipastikan akan mengalami kekalahan secara nasional.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan basis kekuatan merah dan hijau (PDIP dan NU). Jika dua kekuatan ini dapat bersatu maka insentif elektoral yang diraih oleh kandidat yang diusungnya akan sangat signifikan. Strategi mengejutkan Surya Paloh yang mengambil ceruk suara Nahdliyin dengan memasangkan Anies Baswedan dengan Gus Muhamin Iskandar, setidaknya dapat membuyarkan dua kekuatan lainnya, yaitu kekuatan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Demokrat Dalam Persimpangan Jalan
Ali bin Abi Thalib pernah berkata bahwa “Jangan mengambil keputusan ketika sedang marah, dan jangan membuat janji ketika sedang senang.” Kekecewaan Partai Demokrat seharusnya tidak perlu ditunjukkan secara berlebihan, apalagi sampai mencabut dukungan dan dibumbui dengan tudingan kasar dan tidak dewasa.
Penggunaan diksi “penghianat dan pembohong” bagi seseorang tentu tuduhan yang sangat serius karena diksi itu hanya layak disematkan bagi pelaku kejahatan, sementara yang dilakukan oleh Surya Paloh dan Anies Baswedan adalah pilihan politik untuk keluar dari kebuntuan politik karena ego subyektif dan tidak dapat dijelaskan secara obyektif, sebuah prasyarat yang sangat menyulitkan bagi Partai Demokrat sendiri untuk melakukan kerjasama politik dengan partai lainnya.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada Partai Demokrat, harusnya diakui bahwa mas AHY menjadi politisi baru seumur jagung, menjadi Ketua Partai juga karena bapaknya, prestasinya juga masih belum kelihatan, kalau mau sabar sedikit pasti enak dilihat, muda dan bijaksana, dan jika tetap istiqomah ada di barisan Koalisi Perubahan maka layak diganjar menjadi Ketua Tim Sukses dan calon Menkopolhukam, posisi yang juga sangat strategis untuk anak muda seperti AHY. Akan tetapi jika keluar jalur perubahan maka Partai Demokrat akan masuk dalam alam kegelapan politik, membangun poros baru mustahil, bersatu dengan Prabowo tidak dapat Cawapres, apalagi bersama Ganjar Pranowo, tidak akan mendapatkan insentif politik apapun. Wassalam bimurodi.
Penulis : Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja (Pemerhati Sosial Politik dan Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta, Wakil Ketua Forum Doktor Sospol Universitas Indonesia, Direktur Heri Solehudin Center).