Oleh : Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja
Jpnindonesia.com Jakarta-Maka monentum Maulid Nabi Muhammad SAW ini sangat penting artinya, untuk kita kembali menumbuhkan ghirah perjuangan kita menuju persatuan ummat dan bangsa. Dari ummat Islam untuk Bangsa, dengan memilih pemimpin yang otentik, bukan pemimpin karbitan atau hasil pencitraan.”
Hari ini tanggal 28 September 2023 bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 1445 Hijriah sesuai tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam Kitab-kitab Tarikh dan paling diyakini kebenarannya. Kelahiran Nabi Muhammad SAW menjadi hari yang istimewa bagi umat Islam. Ibnu Hisyam menyebut dalam Sirah Nabawiyah-nya, Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal, Tahun Gajah. Menurut para sejarawan, Tahun Gajah bertepatan dengan 570 atau 571 M. Meskipun terdapat perbedaan dalam menyikapi peringatan maulid, akan tetapi secara umum kita dapat mengambil sisi baik nya yang dapat memberikan manfaat bagi kita sebagai ummatnya, yaitu mengingatkan kita pada semangat dan perjuangannya dalam membebaskan umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang.
Maka peristiwa kelahiran atau Maulid Nabi Muhammad selalu dikenang dan dimaknai umat Islam sebagai momen penting perubahan dunia dari zaman jahiliyah yang penuh kegelapan menjadi zaman pencerahan. Perubahan tersebut bukan hanya pada umat Islam, tetapi juga berpengaruh pada seluruh umat manusia mengingat Islam telah memberi kontribusi besar kepada peradaban dunia.
Sejarah Maulid
Pada masa Islam sedang mendapat serangan-serangan, gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Perancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Perang Salib I digelorakan oleh Paus Urban II. Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid Al-Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak Kerajaan dan Kesultanan, meskipun Khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.
Hal itulah yang kemudian menjadi dasar bagi Salahuddin Al-Ayyubi untuk mengkampanyekan peringatan hari kelahiran Nabi untuk menghidupkan kembali semangat juang umat Islam dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi SAW. Gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata Khalifah setuju. Maka pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin Al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam. Maka sejak saat itulah Ummat Islam di seluruh dunia memperingati Maulid Nabi.
Hikmah Maulid Nabi
Dalam Pandangan Muhammadiyah Maulid Nabi termasuk wilayah ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban sekaligus larangan untuk melaksanakannya. Jika perayaan ini membudaya di masyarakat, maka yang harus diperhatikan adalah apakah peringatan tersebut mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam ajaran agama atau tidak, seperti unsur syirik atau pemujaan yang dilakukan secara berlebihan terhadap Nabi. Selain itu juga harus dilihat dari aspek maslahatnya atau manfaat dari peringatan tersebut.
Esensi dari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sesungguhnya untuk meneladani setiap pikiran, ucapan yang cerdas dan jernih, ucapan yang santun dan lembut serta tindakan yang arif dan bijaksana. Itulah perilaku yang diwarnai oleh akhlaqul karimah, akhlak mulia yang mampu menebarkan rahmatan lil alamin, memberi rahmat bagi semesta alam. Inilah yang harus kita hidup-hidupkan ditengah krisis keteladanan pemimpin saat ini, sehingga peringatan maulid bukan saja peringatan lahirnya Nabi, tetapi juga meneladani setiap langkah dan tindakan yang dilakukan untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kapasitasnya sebagai manusia maupun pemimpin ummat.
Jika selama ini kita merasakan bahwa kondisi ummat dan bangsa ini dalam keadaan baik-baik saja, maka itu artinya kita sedang mengalami komplasensi akut, mungkin karena sebagaian dari kelompok umat Islam saat ini begitu menikmati atau karena dininabobokkan oleh kekuasaan saat ini. Upaya untuk mengkotak-kotakan umat Islam dengan memecah belah umat begitu terasa dalam beberapa tahun terakhir, dimana antara satu kelompok Islam dengan kelompok yang lainnya sengaja dibenturkan agar umat Islam tidak dapat bersatu dan membentuk kekuatan besar. Maka ketika terjadi upaya mempersatukan umat Islam dengan terbentuknya pasangan calon pemimpin umat dan bangsa yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar banyak pihak yang tidak menyukai, begitu juga ketika Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang merepresentasikan NU menghadiri undangan Habib Riziek Shihab dalam acara pernikahan putrinya, langsung dianggap sebagai pentolan FPI malah dianggap sebagai Capres dan Cawapres radikal dan anti kebhinekaan.
Inilah fakta bahwa umat Islam saat ini memang sengaja dibuat agar tidak dapat bersatu dan membentuk kesatuan, sehingga apa yang terus kita ikhtiarkan dalam membangun ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyyah selalu mendapatkan tantangan dan hambatan. Pada tahun politik ini kita disuguhkan pada alternatif calon pemimpin bangsa, maka saatnya kita menentukan pilihan. Tentu kita tidak sedang membandingkanya dengan Rasulullah SAW, akan tetapi setidaknya kita dapat melihat yang paling mendekati dengan melihat rekam jejaknya, komitmen dan integritasnya serta keberpihakannya terhadap kepentingan ummat dan bangsa. Maka momentum maulid Nabi SAW ini sangat penting artinya untuk kita kembali menumbuhkan ghiroh perjuangan kita menuju persatuan ummat dan bangsa, dari umat Islam untuk Bangsa dengan memilih pemimpin yang otentik bukan pemimpin karbitan atau hasil pencitraan.
Wallohu’alam bissowab.
Penulis : Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja (Pemerhati Sosial Politik dan Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta, Wakil Ketua Forum Doktor Sospol UI, Wakil Ketua PDM Kota Depok).