Jpnindonesia.com Jakarta 31 Oktober 2023- Soal kedermawan warga bangsa, Indonesia patut berbangga. Menurut laporan World Giving Index, yang dibuat oleh Charities Aid Foundation (CAF), Yayasan yang bergerak di bidang amal dengan jangkauan global dan telah terintegrasi di Inggris, menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan sejak 3 tahun terakhir ini. Pada 2022 Indonesia bertengger pada nomor wahid dengan skor 60%, mengungguli Kenya, USA, Australia, New Zealand, Myanmar dan sebagainya. Survei dilakukan pada 119 negara yang mewakili 90 % populasi dunia. CAF telah memulai survei tahunan ini sejak krisis keuangan global 2008, dengan menggunakan indikator penilaian kedermawanan (giving) yaitu membantu orang asing atau seseorang tak dikenal yang membutuhkan bantuan, menyumbangkan uang untuk amal, dan menyumbangkan waktu untuk sebuah organisasi amal.
Dari survei-survei CAF tahunan ini ditemukan bahwa pandemi COVID-19 ini telah mengubah pola perilaku memberi secara global. Pada tahun 2018, 7 dari 10 negara paling dermawan digolongkan oleh PBB sebagai negara berpendapatan tinggi. Namun, pada tahun 2020, ketika pandemi sedang memuncak, 7 dari 10 negara teratas adalah negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Tren ini berlanjut pada tahun 2021. Hanya 4 dari 10 negara paling dermawan tahun itu yang digolongkan sebagai negara berpenghasilan tinggi, dan 6 di antaranya adalah negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Praktik filantropi didorong bahkan diwajibkan melalui ajaran Islam seperti zakat, sedekah dan wakaf. “Potensi zakat di Indonesia sangat besar, mencapai Rp. 327 triliun pertahun. Angka potensial ini hampir hampir menyamai anggaran pemerintah untuk perlindungan sosial 2022 yang mencapai Rp431,5 triliun” ungkap Waryono Abdul Ghafur Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf saat memberikan pengarahan pada Optimalisasi Pendayagunaan Dana Zakat Lazis Assalam Fil Alamin, di Jakarta (23/8/2023). Potensi zakat di Indonesia ini masih sangat mungkin ditingkatkan, apalagi saat ini sudah ada 512 Badan Amil Zakat, 49.132 Unit Pengumpul Zakat (UPZ), 145 Lembaga Zakat dan 10.124 amil.
Gairah filantropi yang tinggi ini sering dianggap sebagai modal sosial yang kuat untuk mengatasi berbagai permasalahan di masyarakat seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan kohesi sosial. Misalnya, selama pandemi COVID-19 di tahun 2020, berbagai aktor, baik individu, komunitas maupun lembaga bahu-membahu memberikan donasi dan bantuan kepada warga yang terdampak. Solidaritas ini juga acap terlihat setiap kali bencana terjadi baik di dalam maupun luar negari. Namun, praktik filantropi juga tak luput dari masalah-masalah mulai dari intransparansi sampai pembiayaan kepada kelompok radikal. Kasus terkini yang paling menyita perhatian adalah kasus Aksi Cepat Tanggap, salah satu lembaga filantropi Islam terbesar di Indonesia, yang menyalahgunakan donasi masyarakat untuk kepentingan pribadi pimpinannya.
Ragam praktik filantropi di Indonesia beserta dampaknya memantik pentingnya sebuah refleksi mengenai arti filantropi itu sendiri. Secara umum, filantropi dapat didefinisikan sebagai aksi kerelawanan untuk kepentingan publik. Namun, berbagai macam motivasi dan tujuan dari aktor-aktor yang terlibat dalam aksi kerelawanan telah melahirkan beragam pengertian filantropi. Para sarjana filantropi Islam di Indonesia telah memperdebatkan konsep filantropi yang secara garis besar dapat dikelompokkan kepada tiga spektrum: altruis – transaksional, caritas – filantropi serta kemanusiaan – umat. Secara harfiah, konsep filantropi sendiri memiliki makna yang altruis yaitu cinta kemanusiaan. Definisi ini senada dengan konsep caritas atau agape yaitu kecintaan spiritual yang merupakan puncak tertinggi dalam ajaran Kristen.
Bagaimana Indonesia bisa menjadi negara yang selalu bertengger sebagai bangsa paling dermawan dalam 10 tahun terakhir ini? Adakah kaitannya karena sebagai bangsa religious, dengan jumlah populasi Muslim terbesar di dunia? Adakah praktik filantrofi yang berkembang di warga bangsa didorong atau bahkan diwajibkan melalui ajaran Islam berupa zakat, infak, shodaqoh dan wakaf (Ziswaf); dan bagi umat Kristen Karismatik berupa mempraktikkan persepuluhan supaya Tuhan memberikan mereka kemakmuran? Spektrum persoalan apa saja yang dapat timbul dan menjadi permasalahan atas pemaknaan filantrofi baik secara individu, kelompok, maupun institusional dari sikap hidup warga bangsa Indonesia yang penuh kedermawaanan ini?
Untuk menjawab itu, Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan (AIPI) akan menggelar Diskusi Publik secara Hibrida yang akan diselenggarakan pada Selasa, 31 Oktober 2023, Pukul 10.00 – 12.00 WIB di Ruang Pertemuan Anggota AIPI, Lantai 17 Gedung Perpustakaan Nasional RI, Jln. Medan Merdeka Selatan No. 11 Jakarta. Acara Diskusi Publik Seri ke 4 ini dihelat buah berjasama AIPI dan Himpunan Filantropi Indonesia (PFI) ini bertajuk ““Mempertanyakan Ulang Makna Filantropi di Indonesia: Antara Agama, Bisnis dan Kemanusiaan” yang juga dapat diikuti secara daring melalui Aplikasi Zoom dengan Meeting ID: 814 4043 5755 dan Passcode: 795861, atau tautan https://s.id/SeriDiskusi4 dan disiarkan pula melalui live streaming YouTube dengan tautan https://s.id/YTSeriDiskusi4.
Rangkaian acara Diskusi Publik Hibrida ini akan dipandu oleh Prof. Noorhaidi Hasan, Anggota Komisi Kebudayaan AIPI, yang juga Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengajar Universitas Islam Internasional Indonesia. Perhelatan Diskusi Pubik Seri ke 4 ini akan diawali dengan Sambutan Pembuka oleh Ketua AIPI, Prof. Dr. Daniel Murdiyarso, dan Sambutan Pengantar oleh Arifin Purwakananta, Ketua Badan Pengawas PFI. Sedangkan Sambutan Penutup akan disampaikan oleh Prof. M. Amin Abdullah, Ketua Komisi Komisi Kebudayaan AIPI, Guru Besar Emeritus IUN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Diskusi Hibrida yang dihelat Komisi Kebudayaan AIPI ini menghadirkan narasumber yang kompeten yaitu: Pertama, Prof. Amelia Fauzia (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), kedua, Dr. Bhirawa Anoraga (Pengajar Universitas Islam Internasional Indonesia), dan ketiga, Trihadi Saptoadi (Praktisi Perhimpunan Filantrofi Indonesia).
Diskusi Publik ini pertama-tama akan mengupas bagaimana dalam kenyataannya banyak terdapat komponen transaksional dalam praktik filantropi. Antropolog Marcel Mauss, membeberkan ketika seseorang memberikan sesuatu ke orang lain, terdapat hubungan resiprokal di mana penerima merasa harus mengembalikan pemberian tersebut di masa yang akan datang. Dalam perkembangannya, hubungan transaksional ini juga terlihat pada filantropi berbasis agama di mana pemberi donasi mengharapkan imbalan dari Tuhan atas praktek dermanya. Seperti Jamaat Kristen Karismatik yang didorong untuk mempraktikkan persepuluhan supaya Tuhan memberikan mereka kemakmuran. Dan di masyarakat Muslim, Amira Mittermaier juga menemukan konsep ‘berdagang dengan Tuhan’ di mana Muslim di Mesir mengharapkan ‘thawab’ atau pemberian Tuhan melalui amal mereka. Di Indonesia, da’i kondang, Yusuf Mansur, juga memperkenalkan ‘matematika sedekah’ di mana sedekah seorang Muslim akan dibalas dalam bentuk rezeki berkali-kali lipat oleh Allah. Studi-studi ini mengindikasikan bahwa motivasi memberi ‘melampaui belas kasih (beyond compassion)’ karena terdapat unsur kalkulatif baik dengan manusia maupun Tuhan dalam praktik filantropi.
Diskusi selanjutnya akan dikembangkan dengan melihat bagaimana filantropi — walaupun awalnya merujuk pada bantuan jangka panjang yang bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat — berkembang menjadi cariti, bantuan yang bersifat impulsif dan jangka pendek. Ini terkait dengan paradigma memberi ‘ikan’ atau ‘kail’ untuk penerima bantuan dan dalam batas tertentu juga menekankan perbedaan antara aktor filantropi di akar rumput dengan aktor profesional di lembaga filantropi.
Aktor filantropi di akar rumput sering dikonotasikan dengan praktik derma yang impulsif yang didorong oleh rasa kasihan/empati kepada penerima manfaat. Sedangkan aktor profesional menerapkan praktik bisnis dan manajemen modern dalam filantropi supaya dampak yang dihasilkan juga terukur dan berkelanjutan. Istilah filantropi turut berkelindan dengan kewirausahaan sosial yang menekankan pencarian keuntungan dengan dampak sosial. Untuk konteks Indonesia, secara umum praktik filantropi Islam dikelola secara sederhana oleh modin masjid di mana penerima manfaatnya adalah jamaah masjid dan masyarakat sekitarnya.
Muhammadiyah merupakan ormas Islam yang dianggap pertama kali memodernisasi praktek filantropi Islam sehingga pemanfaatannya dapat optimal dirasakan oleh fakir miskin. Kemudian pada masa Orde Baru, lembaga filantropi Islam profesional mulai bermunculan untuk mengelola dana ziswaf yang disalurkan melalui berbagai program sosial kemanusiaan. Kemunculan lembaga ziswaf ini semakin membuat batas antara motivasi sosial dan bisnis semakin kabur dalam praktik filantropi di Indonesia.
Pada akhirnya diskusi akan diarahkan untuk menelaah fenomena menjamurnya lembaga filantropi Islam di Indonesia khususnya pasca-Orde Baru. Fenomena ini turut mendorong perdebatan konseptual apakah filantropi memang berarti cinta universal kepada kemanusiaan atau hal yang lebih sempit seperti kelompok agama atau etnik tertentu. “Filantropi itu memiliki dimensi bonding” dan bridging,” ungkap Robert Putnam. Bonding menggambarkan praktik filantropi yang ekslusif dan melihat ke dalam komunitas atau kelompok tertentu. Sedangkan, bridging menunjukkan praktik filantropi yang inklusif di mana terbangun kolaborasi atau pemberian layanan ke pihak yang berada di luar kelompok pemberi. Praktik bonding dan bridging ini melekat pada orientasi lembaga filantropi Islam di Indonesia apakah mereka membatasi layanan mereka untuk Muslim saja atau non-Muslim juga.
Perdebatan ini mengikuti tren profesionalisasi lembaga filantropi Indonesia yang mulai bersentuhan dengan lembaga-lembaga donor barat sehingga diskursus kemanusiaan universal mulai menyebar di Indonesia. Namun, sejarah awal pendirian lembaga filantropi di Indonesia kental dengan nuansa kompetisi antar lembaga agama karena praktik filantropi juga berkelindan dengan aktivitas proselitisi atau dakwah bil hal. Negosiasi antara untuk umat atau kemanusiaan saat ini mewarnai praktik filantropi Islam di Indonesia dan mancanegara dan telah memantik perdebatan mengenai makna filantropi itu sendiri.