Jpnindonesia.com Jakarta – Banyak kasus KDRT dan pengambilan paksa anak hasil perkawinan dengan WNA (Warga Negara Asing) hingga kini belum ada solusi. Sang isteri merasa bingung karena sang suami dengan sepihak mengambil anak dari pangkuan sang isteri dan dibawa ke luar negeri yang hingga saat ini ingin bertemu namun tidak bisa. Padahal seorang ibu ingin sekali berada disamping buah hatinya, ingin memeluk dan bercengkrama bersamanya.
Kasus ini dialami ibu Angel Susanto, yang dituturkan saat jumpa pers bersama Perkumpulan Pejuang Anak, Minggu (10/3/2024) di Cafe Chill Hil, STC Senayan siang.
Angel Susanto saat wawancara Exclusive dengan awak media
Ditemui awak media Angel Susanto menyampaikan, Suami saya warga negara Fillipina namanya Theodoro Fernandes Toroluen, sedangkan anak saya bernama Enrico Johannes Susanto Carluen biasa disapa EJ, Lahirnya tahun 2013. Dari dulu dia memang KDRT, waktu EJ lahir, akhirmya saya bilang saya harus keluar, karena kalau tidak akan berdampak pada EJ KDRT nya, Dia tidak berhenti dan dia tidak bekerja atau pengangguran. Makin lama tempramennya makin jelek. Kemudian saya minta cerai di 2015, keputusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi sudah keluar Hak Asuh Anak Inkrah ke saya, tapi di 30 januari 2020 ternyata dia menculik EJ,” terangnya.
Lebih lanjut Agel Susanto mengatakan, saya diceritakan supir, jadi supir itu di jembatan Casablanca bawa EJ ke sekolah pakai mobil antar jemput sekolah itu jam 6 pagi di hentikan oleh menurut supir itu istilahnya polisi bermotor besar, BM kalau istilah supir, jadi oknum polisi bermotor besar dan diminta surat macam-macam. Saat dia lagi sibuk dengan polisi katanya ada mobil datang salah satu orang penumpangnya langsung keluar mengambil EJ, tahu-tahu EJ jadi diam, setelah supir mau kejar itu sama polisi di bentak, jadi sama polisi di halangi lagi di sibukan minta macam-macam dan orang yang ambil itu ngaku bapaknya, katanya mau antar EJ ke sekolah. Setelah itu, orang itu pergi dengan EJ dengan mobil, setelah itu supir di lepas oleh polisi,” jelasnya.
“Sampai saat ini kita tidak pernah tahu siapa Bapak Polisi bermotor besar ini, ngak pernah ketemu, ngak pernah kelihatan. Jadi dari CCTV juga tidak ada, karena CCTV itu disana cuma di simpan di Bali Tower sampai 2 atau 3 jam supir itu baru lapor saya jam 2, jadi pada saat dia lapor CCTV sudah tidak ada. Jadi sejak itu 30 januari 2020 EJ hilang tanpa jejak sampai sama sekali tidak ada dimanapun,” ungkapnya.
Saya lapor ke Reknata, kemudian saya lapor ke Jatanras juga dua minggu kemudian kedua-duanya. Cuma menurut polisi orangnya kan tidak ada, saya sudah lapor ke kedutaan Filipina juga waktu itu, saya tanya dan mereka tidak tahu apa-apa. Jadi oleh Reknata sudah ditetapkan sebagai tersangka sebenarnya. Dan kemudian akhirnya saya dapat DPO setelah saya ketemu Pak Karyoto waktu itu, dapat DPO di 2023, tersangka itu di 2022 tapi sampai sekarang masih belum ada kabarnya lagi. Sementara EJ sudah di Yellow Notice oleh Interpol di 2020 cuma Yellow Notice itu tidak susah, karena itu mengandalkan pasif orangnya harus dibawa keluar negeri dulu dan lain sebagainya,” tuturnya.
Saya dan beberapa teman-teman mengalami hal yang sama, Jadi ada teman-teman kami juga sama anaknya di bawa keluar negeri oleh WNA. Saya berharap banget bahwa, karena saya sudah ke kemenlu, ke KBRI Manila juga menanyakan pendapatnya itu. Dan menuru mereka harus dengan Goverment to Goverment, mudah-mudahan menurut saya pemerintah bisa menginisiasi ini minimal ke pemerintah Filipina bisa menanyakan. Karena kalau saya coba geraknya terbatas, pemerintah yang bisa membuka data misalnya orangnya ada dimana, jadi saya harapannya satu pemerintah bisa melakukan G to G untuk ini, kedua minimal pemerintah bisa memberikan Red Notice, DPO, jadi dengan dokumen ini Interpol saya bisa berusaha juga di Filipina untuk bergerak, mungkin saya ngak tahu lagi gimana caranya, namanya emak-emak seperti saya kemarin bisa mencegat Pak Jokowi di Bogor, mungkin saya bisa kesana mencoba mencegat Presiden Marcos, Rapi Tulpo salah satu youtuber disana, tapi minimal ada yang bisa saya lakukan. Saya berharap pemerintah ngak mengganggap ini satu sebagai masalah domestik, masalah rumah tangga biasa, kedua tidak bilang bahwa anaknya di luar negeri saya tidak bisa apa-apa, karena ini bukan kasus terorisme misalnya TPPO, saya berharap pemeritah ini masalah yang serius juga dan benar-benar melakukan sesuatu,” pungkasnya.