Dr. Nicholay Aprilindo
Jpnindonesia.com Jakarta-Ketika kita berbicara tentang kecurangan didalam Pemilu secara Terstruktur, Sistemik dan Massive (TSM), kita harus melihat dahulu tentang definisi dari makna TSM tersebut, apakah sesuai Pasal 286 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau tidak.
Selanjutnya kita harus mengetahui apa syarat pelanggaran kecurangan secara TSM.
Adapun syarat terjadinya suatu pelanggaran dan atau kecurangan secara TSM menurut UU No.7 Tahun 2017 harus memenuhi 3 (tiga) syarat formal yaitu :
- Harus dapat dibuktikan bahwa kecurangan itu terorganisir oleh sebuah entitas dan atau institusi;
- Harus dapat dibuktikan ada bukti mengenai dokumen perencanaan kecurangan itu;
- Harus dapat dibuktikan bahwa pelanggaran secara TSM, betul terjadi di 50 % dari jumlah provinsi yang ada diseluruh Indonesia dan terjadi pada setiap provinsi tersebut dari 50% sebaran tiap provinsi yang ada di Indonesia;
Bahwa selain syarat yang ditentukan didalam UU Pemilu No.7 Thn.2017, diatur juga didalam Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) No.8 Thn.2022, pada pasal 56 ayat (1) jo ayat (2) bahwa TSM meliputi :
a. Kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural baik aparat pemerintah atau penyelenggara pemilu secara kolektif atsu secara bersama-sama;
b. Pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun dan sangat rapi; dan
c. Dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilu bukan hanya sebahagian.
Selain itu harus dilihat pula dari objek sengketa apakah berupa Surat Keputusan (SK) dan/atau Berita Acara (BA) yang dikeluarkan KPU atau KPUD dan pihak yang menjadi termohon adalah pejabat tata usaha Negara (KPU).
Bahwa setelah menempuh upaya hukum melalui Bawaslu, maka upaya hukum selanjutnya atas sengketa di Bawaslu adalah ke Pengadilan Tata Usaha Negara apabila mengenai produk keputusan dan/atau berita acara KPU / KPUD.
Dengan demikian sangatlah jelas bahwa penyelesaian sengketa proses pemilu masuk rezim peradilan administrasi.
Akan tetapi bagaimana dengan sengketa cepat antara peserta ?
Untuk sengketa cepat antar peserta adalah menggunakan mekanisme hukum perdata yang bersifat non litigasi atau yang dikenal dengan alternative dispute resolution.
Berangkat dari penjelasan di atas, yaitu bahwa antara penanganan pelanggaran administrasi dan penyelesaian sengketa proses pemilu sama-sama mencari kebenaran materiil, sehingga beban pembuktian dalam kedua kasus tersebut tidak hanya ada pada pihak yang bersengketa atau yang berperkara ansich tetapi juga ada pada majelis hakim Bawaslu. Oleh karenanya majelis hakim Bawaslu harus aktif dalam menemukan kebenaran materiil atas kasus yang ditanganinya agar putusan yang dikeluarkan dapat mencapai keadilan substansiil.
Bahwa didalam perkara pelanggaran pemilu mengenai kecurangan TSM. Kebenaran yuridis sangat dipengaruhi oleh aspek pembuktian, semakin kuat pembuktiannya maka nilai kebenaran dalam setiap putusan yang diambil semakin dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Oleh karenanya sistem pembuktian sangat penting dipahami dan diperhatikan dalam setiap mekanisme mengungkap kasus di pengadilan.
Berkaitan dengan hal tersebut, R. Supomo berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua arti, yaitu :
Pertama
Dalam arti luas, pembuktian membenarkan hubungan hukum. Misalnya jika hakim mengabulkan gugatan penggugat. Gugatan penggugat yang dikabulkan mengandung arti hakim telah menarik kesimpulan bahwa hal yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar.
Oleh karena itu, membuktikan dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.
Kedua,
Dalam arti yang terbatas (sempit), pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Sementara itu, hal yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.
Sedangkan menurut pendapat Sudikno Mertokusumo membagi pengertian pembuktian menjadi tiga yang meliputi :
arti logis, konvensional dan yuridis.
Pembuktian dalam arti yuridis adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Salah satu fungsi dan wewenang Bawaslu adalah penegakan hukum pemilu melalui mekanisme persidangan adjukasi atas pelanggaran administrasi dan penyelesaian sengketa proses pemilu.
Kedua penanganan kasus hukum tersebut tentang pelanggaran administrasi dan penyelesaian sengketa proses pemilu, membutuhkan mekanisme pembuktian yang benar agar putusan yang diambil dapat memenuhi rasa keadilan dan kebenarannya juga dapat dipertanggungjawabkan.
Bahwa perbedaan/pemisahan Sistem Pembuktian dalam Pidana, Perdata dan Administrasi
terletak pada
Pelanggaran hukum yang bersifat adminsitratif memiliki perbedaan dengan pelanggaran hukum yang bersifat pidana maupun perdata. Oleh karenanya mekanisme pembuktianya tentunya juga memiliki perbedaan.
Karakteristik peradilan administrasi dalam pemilihan umum, yang apabila dipahami secara baik akan sangat membantu mengetahui karakteristik dari hukum administrasi itu sendiri.
Teori pembuktian dalam peradilan administrasi seperti proses peradilan di Bawaslu tidak banyak kita temukan literaturnya. Artikel dan buku yang banyak kita jumpai adalah teori pembuktian yang berkaitan dengan hukum pidana dan perdata, oleh karenanya butuh pemahaman yang baik tentang karakteristik hukum administrasi sebagai pintu masuk awal didalam memahami proses pembuktian di peradilan administrasi termasuk di Bawaslu.
Baik dalam perkara pidana, perdata maupun dalam perkara administrasi.
Untuk itu majelis hakim tentunya membutuhkan pembuktian untuk dapat dipertimbangkan sebelum akhirnya akan diputuskan berdasarkan proses pembuktian dalam persidangan dan keyakinan para majelis hakim,
terdapat beberapa kesamaan antara hukum pidana dan hukum adminsitrasi, diantaranya adalah sama-sama hukum public, dan sama-sama mencari kebenaran materiil.
Dua kesamaan antara hukum pidana dan administrasi diatas tidak terdapat dalam hukum perdata. Hukum perdata, merupakan hukum privat yang mengedepankan kebenaran formil. Jadi dalam kasus perdata hakim akan lebih mengutamakan bukti-bukti surat formil dari pada bukti yang lainnya sebagai dasar mengeluarkan putusan, meskipun bisa jadi bukti formil tersebut diperoleh dengan cara manipulasi.
Perbedaan lain adalah Hakim perdata lebih pasif daripada hakim pidana lebih-lebih hakim dalam peradilan administrasi. Hakim perdata juga tidak sebebas hakim pidana dan administrasi dalam memutusakan perkara karena hakim perdata terikat dengan alat-alat bukti formil yang dikemukakan dipersidangan. Siapa yang memiliki bukti-bukti formil yang lebih kuat maka dialah yang seharusnya dimenangkan oleh hakim.
Sedangkan Perbedaan pembuktian antara pidana dan adminsitrasi adalah kalau pidana Negara sudah aktif membuktikan pelanggaran pidana melalui tiga penegak hukum pidana (integrated criminal justice system) yaitu Polisi, Jaksa dan Pengadilan, sedangkan dalam pengadilan adminsitrasi gugatan (laporan/permohonan) langsung diajukan ke lembaga pengadilan yang berwenang sehingga majelis di pengadilan itulah yang harus aktif membuktikan perkara yang ditanganinya (dominus litis).
Bahwa sistem Pembuktian dalam Penanganan Pelanggaran Adminsitrasi, berdasarkan
Pasal 460 UU.No.7/2017 mendefinisikan Pelanggaran administrative Pemilu sebagai pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan adminsitrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menangani pelanggaran administrasi pemilu melalui proses penggelaran sidang adjudikasi. Selama proses pemeriksaan dalam gelaran sidang adjukasi itulah, Majelis Bawaslu memeriksa berbagai alat-alat bukti yang diajukan oleh pelapor maupun terlapor.
Pasal 71 ayat (2) Perbawaslu No.9 Tahun 2022 menentukan Alat-alat bukti yang diakui keabsahannya dalam persidangan pelanggaran administrasi meliputi:
keterangan saksi;
surat atau tulisan;
petunjuk;
dokumen elektronik;
keterangan Pelapor atau keterangan terlapor dalam sidang pemeriksaan; dan/atau
keterangan ahli.
Selanjutnya untuk pembuktian diatur dalam Pasal 71 ayat (3) sampai dengan ayat (9) dan Pasal 72 – Pasal 75 Perbawaslu No.9 Tahun 2022.
Bahwa berdasarkan Pasal 57 Perbawaslu No.8 Thn.2022 penemu pelanggaran adminsitrasi pemilu TSM terdiri dari Bawaslu Provinsi dan atau Bawaslu kabupaten/kota dapat berasal dari temuan Bawaslu, sedangkan berdasarkan Pasal 58 Pelapor dugaan pelanggaran administratif Pemilu TSM atau laporan masyarakat dengan syarat :
a. WNI yang punya hak pilih
b. Peserta Pemilu dan/atau;
c. Pemantau Pemilu.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 61 Perbawaslu No.8 Thn.2022, Pelanggaran administrasi Pemilu TSM berasal dari
Temuan, atau Laporan yang telah dilakukan kajian awal dan merupakan dugaan pelanggaran administratif Pemilu.
Bahwa dugaan pelanggaran administrasi Pemilu TSM diputuskan dalam sidang pleno Bawaslu, Sedangkan laporan adalah berupa surat laporan yang disampaikan masyarakat yang memenuhi syarat formil dan materiil. (dituangkan dalam formulir ADM.NRL).
Dan dicatat dalam berita acara sesuai dengan formulir ADM.BA-REG.
Berdasar pada alur penanganan pelanggaran administrasi Pemilu TSM tersebut, yaitu sebagai berikut:
Bahwa apa bila penanganan pelanggaran administrasi Pemilu TSM berasal dari temuan maka alat bukti paling utama adalah hasil pengawasan struktural Bawaslu berupa formulir A, sedangkan apa bila berasal dari laporan maka alat bukti utama adalah surat laporan yang dituangkan dalam formulir ADM.NRL sedangkan formulir A hasil pengawasan Bawaslu dapat dijadikan alat bukti pembanding.
Selanjutnya pokok-pokok alat bukti tersebut dapat diperdalam dengan mengkomparasi berbagai keterangan yang disampaikan dalam persidangan. Keterangan yang dimaksud adalah dapat berupa keterangan saksi, keterangan pelapor, terlapor bahkan keterangan ahli.
Adapun sistem Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu diatur didalan Perbawaslu No.9 Thn. 2022,
demikian pula alat-alat bukti dalam penyelesaian sengketa proses Pemilu TSM yaitu:
- surat;
- keterangan Pemohon dan Termohon;
- keterangan Saksi;
- keterangan Ahli;
- informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya;dan/atau pengetahuan majelis sidang.
- Terdapat perbedaan alat-alat bukti dalam penanganan pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa proses pemilu.
Secara hirarkis dalam sengketa proses pemilu alat bukti berupa surat diletakkan dalam urutan pertama sedangkan keterangan saksi pada penanganan pelanggaran administrasi pemilu berada pada urutan paling atas dalam penyelesaian sengketa ini ada pada urutan ke tiga dibawah keterangan pemohon dan termohon.
Disamping itu, dalam sengketa proses Pemilu TSM pengetahuan majelis sidang juga menjadi alat bukti dan tidak mencantumkan alat bukti petunjuk sebagai salah satu alat bukti sah dalam penyelesaian sengketa proses pemilu.
Bahwa dari perbedaan ini dapat disimpulkan bahwa struktur alat bukti dalam pelanggaran administrasi pemilu menyerupai alat-alat bukti dalam hukum pidana karena mencantumkan bukti petunjuk sedangkan struktur alat bukti dalam penyelesaian sengketa proses pemilu memang sangat bersifat pengadilan administrasi karena mencantumkan pengetahuan majelis sidang sebagai salah satu alat bukti.
Hal tersebut harus pahami karena pelanggaran administrasi pemilu memang bisa dikualifikasi sebagai pelanggaran pidana meskipun penerapannya bersifat ultimun remidium, selain itu dalam pelanggaran administrasi bersifat TSM memberikan dua ancaman sanksi sekaligus yaitu :
- Sanksi administrasi berupa pembatalan pencalonan dan
- Sanksi pidana. Pelanggaran Administrasi pemilu bersifat TSM.
Upaya hukum lainnya yang dapat ditempuh para pihak adalah mengajukan kasai ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman memiliki beberapa kewenangan diantaranya adalah berwenang dalam fungsi pengaturan yang mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Agung diberikan kewenangan dalam fungsi pengaturan berupa menerbitkan beberapa produk hukum seperti Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
Dengan diberikannya kewenangan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Mahkamah Agung dapat mengatur dengan mengeluarkan produk hukumnya PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) untuk dapat menerima, memutus, memeriksa, dan menyelesaikan sengketa Pemilihan Umum, dalam Pemilu 2019
Mahkamah Agung telah menyiapkan beberapa PERMA, yaitu PERMA Nomor 4 tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung
Mengacu pada Ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 463 ayat (5) sampai dengan ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung, bahwa
Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa pelanggaran administrasi Pemilu TSM.
Bahwa didalam penyelesaian sengketa proses murni bersifat administrasi, hal tersebut dapat dilihat dari objek sengketa dalam penyelesaian sengketa proses pemilu yang berupa surat atau Berita Acara yang dikeluarkan oleh KPU/KPUD yang pada hakikatnya merupakan wilayah wewenang pengadilan tata usaha Negara. Oleh karenanya pasal 471 UU. No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mengkatagorikan proses penyelesaian sengketa proses pemilu di Bawaslu sebagai upaya administrative.
Berbeda dengan penanganan pelanggaran administrasi pemilu yang berawal dari temuan atau laporan, dalam penyelesaian sengketa proses pemilu hanya melalui permohonan yang diajukan pemohon sengketa yang memiliki legal standing.
Dalam Hal ini Bawaslu pasif karena hanya aktif apa bila ada permohonan yang masuk (ius curia novit).
Atas dasar itu bukti utama yang perlu dipertimbangkan oleh Bawaslu adalah surat permohonan yang diajukan pemohon, selanjutnya Bawaslu bisa mendalaminya dengan mendengarkan keteranga-keterangan para pihak yang disampaikan dalam proses persidangan.
Atas dasar itu majelis (hakim) harus aktif (dominus litis), maka majelis juga dapat mengahadirkan pihak-pihak lain yang dianggap perlu untuk dimintai keterangannya, termasuk mengahdirkan keterangan ahli.
Keaktifan hakim (judicial activism) sebenarnya tidak hanya menuntut hakim untuk lebih agresif dalam mendalami perkara yang ditanganinya tetapi hakim juga bisa lebih progresif dalam menerapkan aturan perundang-undangan dalam membuat putusan, oleh karenanya judicial activism diartikan sebagai suatu filosofi dari pembuatan putusan peradilan dimana para hakim mendasarkan pertimbangan-pertimbangan putusan, antara lain pada pandangan hakim terhadap perkembangan baru atau kebijakan public yang berkembang.
Penerapan teori judicial activism lebih dikenal didalam peradilan administrasi. Peradilan administrasi sering dikaitkan dengan pengadilan Tata Usaha Negara. Bila dilihat dari sejarah terbentuknya peradilan administrasi, maka sebenarnya terbentuknya pengadilan administrasi itu bertujuan untuk membatasi dan mengatur peran dan kekuasaan administrasi Negara (Pemerintah) atau mengatur hubungan antara hubungan administrasi Negara dengan rakyat.
Pengadilan Adminsitrasi menjadi urgen karena peran dari pejabat tata usaha Negara sangatlah luas lebih-lebih di negara dengan sistem civil law seperti Indonesia dimana pemerintah sangat aktif dalam memproduksi perundang-undangan.
Agar Negara tidak sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaannya dengan alasan legal formal yang telah dikeluarkannya, maka segala kebijakannya (policy) maupun tindakan pejabat tata usaha Negara dapat digugat di pengadilan khusus yaitu pengadilan administrasi.
Oleh karenanya, dalam peradilan administrasi yang sering menjadi pihak tergugat adalah pemerintah (lembaga administrasi Negara).
Dengan demikian pengadilan Administrasi adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk mengadili Pejabat Tata Usaha Negara yang diduga melakukan pelanggaran atas penggunaan tugas dan wewenang yang melekat padanya.
Beranjak dari hal ini timbul pertanyaan apakah proses peradilan di Bawaslu masuk katagori peradilan administrasi ?
Dalam hal menjawab pertanyaan diatas, maka perlu dijelaskan kembali bahwa Bawaslu memproses secara adjukasi (judicial process) atas dua perkara yaitu penanganan pelanggaran administrasi dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas sebelumnya, objek yang dilanggar dalam penanganan pelanggaran administrasi adalah prosedur atau mekanisme kepemiluan yang diatur melalui perundang-undangan.
Pihak yang diduga melakukan pelanggaran tidak hanya pejabat tata usaha negara seperti KPU/KPUD tetapi bisa peserta pemilu, bahkan pemilih.
Beranjak dari hal ini, penanganan pelanggaran administrasi memang tidak murni berkarakter peradilan administrasi. Dilihat dari objeknya yang berupa sejumlah prosedur dan mekanisme kepemiluan, maka masuk adalam katagori karakteristik administrasi selama yang diduga dilanggar berupa prosedur penggunaan tugas dan wewenang, namun apabila dilihat dari pihak yang diduga melanggar yang tidak selalu pejabat tata usaha Negara, maka unsur peradilan administrasi menjadi tidak jelas (obscuur),
Sedangkan bila dilihat dari prosedur penanganannya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penanganan pelanggaran pemilu dapat berasal dari temuan dapat pula berasal laporan.
Bila berasal dari temuan maka Bawaslu berperan sebagai penyidik sekaligus penuntut di pengadilan Bawaslu, dan hal ini memiliki kemiripan dengan penanganan perkara pidana, tetapi bila berasal dari laporan, maka Bawaslu hanya menjadi pengadil dan hasil pengawasan bawaslu menjadi bukti pelengkap atas laporan tersebut.
Dari sisi ini penanganan pelanggaran administrasi menghimpun dua karakter pengadilan sekaligus yaitu karakter pengadilan administrasi dan karakter pengadilan pidana, namun karena keduanya sama-sama mencari kebenaran materiil (kebenaran substansiil), maka majelis pengadilan Bawaslu harus aktif dalam mengungkap kebenaran perkara yang ditanganinya.
Penulis adalah Aktivis & Praktisi POLHUKAM / Sekretaris Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN PERADI.