Oleh: Dr. Nicholay Aprlindo, S.H., M.M.
Jpnindonesia.com Jakarta-
A. Pendahuluan
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai negara hukum yang demokratis, Indonesia menganut asas penting dan melekat di dalamnya yaitu “supremacy of law”, “equality before the law”, dan “due process of law”. Ketiga prinsip tersebut sangat melekat dalam proses penerapan hukum, termasuk dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Dalam penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dengan cita hukum mensyaratkan terpenuhinya 3 (tiga) unsur yang selalu menjadi tumpuan hukum, yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigket).
Dalam setiap implementasi bekerjanya penegakan hukum, maka diperlukan pengintegrasian komponen sistem hukum. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure),
komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance)
aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembagalembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.1
Dalam perkembangannya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti. Dikatakan juga olehnya bahwa kultur menempati posisi yang sangat menentukan karena ia adalah penggerak bagi bekerjanya sistem hukum. Dapat dikatakan bahwa ketiga faktor tersebut harus ada dan berlaku tetap, masing-masingnya saling memberikan kontribusi. Dengan demikian penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi harus memenuhi ketiga unsur tersebut.
Persoalan sistem pengegakan hukum saat ini memperlihatkan perkembangan penegakan hukum dari waktu ke waktu di Indonesia menunjukkan tingkat kualitas penegak hukum yang semakin merosot dan masuk pada titik
rawan atau berada pada kondisi yang memprihatinkan. Persoalan penegakan hukum, utamanya dalam pemberantasan korupsi menunjukkan kondisi lemahnya integritas dan kapabilitas aparat penegak hukum. Kedua hal ini menunjukkan belum optimalnya faktor kultur dalam penegakan hukum, utamanya dalam
pemberantasan korupsi.
B. Pembahasan
Tindak pidana korupsi di Indonesia perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, dari segi kuantitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Permasalahan korupsi yang meluas dan terjadi secara sistematis
serta terorganisir ini membutuhkan suatu penanganan yang sistematis pula baik secara substansial maupun secara kelembagaan antar penegak hukum.
Dikatakan demikian oleh karena berhasilnya atau efektifnya penegakan hukum harus mengacu dengan pendekatan sistematis (systemic approach).
Selain Friedman, Soerjono Soekanto menganalisa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: faktor undang-undang, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas faktor masyarakat, faktor kebudayaan.2 Kelima faktor tersebut akan sangat mempengaruhi apakah penegakan hukum tersebut akan berjalan lancar atau akan mengalami hambatan-hambatan tertentu. Akibat adanya berbagai faktor yang mengganggu, maka penegakan hukum sulit terwujud dalam bentuknya yang total.
Menurut Achmad Ali, efektif atau tidaknya hukum, tidak semata-mata ditentukan oleh peraturannya, tetapi juga dukungan dari beberapa institusi yang berada disekelilingnya, seperti faktor manusianya, faktor kultur hukumnya, faktor ekonomis dan sebagainya.3 Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar
berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.
4.Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa jika etika dan moral manusia telah luntur, maka penegakan hukum tidak tercapai, sehingga membangun masyarakat untuk sejahtera dan kebahagiaan manusia tidak akan terwujud.5 Etika pada
dasarnya lebih luas dari pada hukum. Setiap pelanggaran terhadap hukum, kebanyakan adalah pelanggaran juga terhadap etika. Akan tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika lebih luas, bahkan dapat
dipahami sebagai basis sosial bagi bekerjanya sistem hukum.
6. Etika mendahului bekerjanya sistem hukum dan bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial bekerjanya sistem hukum. Etika menunjuk keberlakuan salah satu komponen dari sistem hukum, yakni budaya hukum (legal culture). Budaya hukum ini merupakan sikap publik atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat.
7 Konsensus di antara mereka akan melahirkan integritas moral yang tinggi, lebih transparan serta memiliki independensi yang kuat karena telah tercipta konsensus diantara mereka.
Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka faktor aparat demikian menentukan dalam bekerjanya sistem hukum pemberantasan korupsi. Faktor aparat ini juga
terkait dengan budaya, sehingga membentuk integritas dalam tindakan dan perbuatan. Disini integritas merupakan suatu konsistensi yang berkelanjutan.
Dalam integritas mengandung kesatuan penilaian dan perbuatan yang didasarkan pada hati nurani, sehingga terhadap apa yang diwujudkan sesuai
dengan kebenaran dan keadilan. Integritas dalam penguatan pemberantasan korupsi merupakan unsur kultur kolektif.
Kultur kolektif ini perlu disadari dan diperhatikan dengan baik oleh setiap orang yang bekerja dalam sistem hukum, bahwa hukum (komponen substansi) dalam rumusan-rumusan yang terkandung dalam bentuk peraturan-peraturan
atau teks-teks hukum bersifat abstrak yang harus diimpelentasikan secara nyata.
Kultur tersebut tidaklah dapat dilihat hanya dalam batas-batas kesadaran hukum masyarakat semata (kultur eksternal), tapi juga harus dilihat sebagai penggerak bagi bekerjanya sistem kelembagaan penegakan hukum (kultur internal). Oleh karenanya kontrol sosial menjadi sebuah keniscayaan agar kultur-kultur tersebut
tumbuh dan berkembang dalam sistem kelembagaan.
Salah satu upaya melakukan perubahan kultur agar sistem hukum dapat bekerja secara baik dan memiliki integritas, maka perlu diupayakan peningkatan pendidikan dan pengetahuan, sehingga dengan demikian penegak hukum yang merupakan komponen struktur dalam sistem hukum tidak hanya memandang hukum sebagai kumpulan teks semata. Dengan pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai hukum diharapkan akan mampu menegakan hukum dengan baik, tanpa harus terganggu oleh berbagai kepentingan-kepentingan tertentu, kecuali
kepentingan terhadap kebenaran dan keadilan sehingga hukum dalam penegakannya mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Untuk itulah diperlukan sumber daya manusia yang handal, yang tidak hanya sekedar cerdas tapi juga bermoral.
Menurut Rudolf Stammler, cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakan keharusan bagi mengarahkan hukum kepada cita-cita yang
diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu (leitstern) bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Cita hukum mempunyai dua sisi: di satu sisi sebagai penguji hukum positif yang berlaku dan disisi lain mengarahkan hukum positif sebagai usaha dengan sanksi pemaksa menuju sesuatu yang adil (zwangversuchzum richtigen). Menurut Stammler, keadilan ialah suatu usaha atau tindakan mengarahkan hukum positif kepada cita hukum. Dengan demikian maka hukum yang adil (richtigen recht) ialah hukum positif yang memiliki sifat yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat
Dalam penegakan hukum, pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement) menjadi dalil bagi berjalan penegakan hukum yang efektif.
Oleh karena itu, efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya. Disini indikator efektivitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan
sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
Untuk mewujudkan suatu penegakan hukum pemberantasan korupsi yang optimal, tidak hanya sistem peraturan perundang-undangan dan struktur yang baik dan memadai, tetapi juga manusia dengan perilakunya juga harus memiliki
kepribadian yang baik. Aparat penegak hukum KPK harus memiliki kemampuan dan integritas yang layak dan tinggi serta memiliki kesadaran dalam mentaati peraturan yang berlaku. Salah satu pembaharuan moral yang menonjol untuk
mendapatkan perhatian adalah moral kejujuran. Sikap jujur, sebenarnya dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk menghindarkan diri dari sikap koruptif.
Oleh karena itu, budaya ketidakjujuran harus dihadapi dengan “strategi budaya”, yaitu membina budaya jujur dan sekaligus integralitas moral religius yang berkualitas. Dalam hal penguatan budaya hukum aparat penegak hukum KPK dilakukan dengan menerapkan fungsi reward dan punishment. Kedua fungsi ini
harus secara jelas dan kontinyu dilakukan.
Kepada anggota yang melakukan pelanggaran harus ditindak secara tegas dan diumumkan kepada masyarakat luas, sedangkan kepada anggota yang berprestasi diberikan penghargaan,
misalkan dengan menaikkan pangkat dan promosi ke jenjang yang lebih tinggi.
Selanjutnya, keberadaan integritas juga harus didukung dengan apsek kapasitas. Kapasitas sebagai suatu kompetensi yang menunjuk pada
keterampilan atau kemahiran sangat terkait dengan faktor kelembagaan penegakan hukum. Oleh karena itu, penguatan kapasitas pada KPK dapat mendukung profesionalitas penanganan tindak pidana korupsi yang akan memberikan outcome optimal. Peningkatan kapasitas dalam upaya pemberantasan korupsi ini penting untuk dilakukan secara berkelanjutan, mengingat perkembangan modus tindak pidana korupsi yang semakin kompleks. Integritas dan kapasitas merupakan dua hal yang harus mewujud dalam diri aparat KPK. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang sama. Pada keduanya dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan.
Integritas dan kapasitas juga berkaitan dengan upaya membangun pemberantasan korupsi dengan pendekatan sinergitas dan kolaborasi. Kolaborasidan sinergi dalam penegakan hukum sangat berhubungan dengan fungsi hukum itu sendiri yakni sebagai sarana pembaharuan masyarakat.”
Romli Atmasasmita mengatakan, pada dasarnya fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool of social engeneering) relatif masih sesuai dengan pembangunan hukum nasional saat ini, namun perlu juga
dilengkapi dengan pemberdayaan birokrasi (beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep panutan atau kepemimpinan, sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat menciptakan harmonisasi antara elemen
birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang disebut “beureucratic and social engineering.”
8. Hal yang sama dinyatakan Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”, ”law as a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan”.
Dikatakan olehnya bahwa hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu.
Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi
hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang
dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan.”
9.Terlebih lagi dalam kultur kolektif mempersyaratkan adanya kesamaan
pandangan dan sikap guna percepatan pemberantasan korupsi dan termasuk
pengembalian kerugian keuangan negara. Menurut teori sinergitas, bahwa hubungan antara dua pihak dapat menghasilkan tingkatan komunikasi dihadapkan pada elemen kerjasama dan kepercayaan. Mengacu kepada kondisi
yang terjadi, maka pendekatan sistem (systemic approach) menjadi acuan dalam mengupayakan kondisi sinergitas yang diharapkan. Kebijakan membangun sinergitas kelembagaan penegak hukum dibentuk dengan maksud agar berdayaguna dan berhasilguna dalam implementasi pemberantasan korupsi dan
pengembalian kerugian keuangan negara.
Dalam kapasitas penegakan hukum terkandung kualitas dan intensitas. Rahardjo mengemukakan bahwa penegakan hukum lebih dari sekedar
menerapkan undang-undang dan prosedur (black letter law), karena kualitas dan
ntensitas penegakan hukum dapat berbeda beda, oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang mesu budi, yaitu pengerahan seluruh potensi kejiwaan dalam diri, sehingga menimbulkan penegakan hukum yang vigilante (pejuang) dalam arti menjalankan hukum dengan kecerdasan spiritual.
10. Kapasitas sangat berhubungan dengan implementasi kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem hukum, maka keberadaan kewenangan sangat menentukan bekerjanya sistem hukum. Pada akhinya, aparat KPK harus memiliki komitmen kuat dalam
menjalankan kewenangannya dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi.
Komitmen merupakan faktor internal dalam mengupayakan pemberantasan korupsi yang integratif. Untuk itu, maka keberlangsungan penegakan hukum juga harus didasarkan adanya kemauan kuat aparat KPK guna mendukung fungsi pelaksanaan penegakan hukum baik dalam proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Disini tekanan politik paling tidak harus diminimalkan, dan komitmen para penegak hukum KPK harus menjungjung tinggi supremasi hukum. Sebesar apapun tekanan politik yang ada, jika komitmen aparat KPK tangguh, maka tekanan itu dapat dikesampingkan.
Kemudian daya berlaku sistem dan tata kelola kelembagaan KPK harus didukung dengan manejemen pengelolaan perkara dan keterhubungannya dengan lembaga lain yang terkait dalam pelaksanaan fungsi diferensiasi. Secara struktural juga harus mengedepankan prinsip peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan, hal ini terkait dengan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) dan beban tugas yang berlebihan (overbelasting). Kedua hal ini terkait dengan ketersediaan sumberdaya manusia (personil aparat penegak hukum) yang memadai, handal dan anggaran yang mendukung. Dengan kecukupan SDM yang handal dan keberadaan angaran yang memadai akan mendukung fungsi pelaksanaan tugas anggota yang lebih baik. Kemudian, harus diwujudkan terciptanya kemitraan dan jaringan yang baik, ditandai dengan adanya sinergitas
yang kuat antar lembaga penegak hukum.Untuk kepentingan ini, fungsi traiger mechanism yang diemban oleh KPK harus menjadi program nyata dan unggulan pemberantasan tindak pidana korupsi.
C. Penutup
Pendekatan sistemik dalam pemberantasan korupsi dengan dukungan integritas dan kapasitas aparat KPK akan memberikan kontribusi bagi peningkatan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance).
Untuk membangun sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi yang baik dan berwibawa, maka diperlukan SDM penegak hukum yang handal dan bermental tangguh serta memiliki pemahaman hukum yang utuh. Dengan
memiliki pengetahuan yang integral tersebut penegak hukum tidak hanya memahami hukum sebagai kumpulan teks-teks dalam peraturan perundangundangan semata, tetapi memahami dengan baik tentang makna hukum secara
lebih luas dan terperinci bahwa penegakan hukum pidana tidak hanya pada tataran kepastian hukum. Namun juga pada tataran keadilan dan kemanfaatan hukum.
Pada akhirnya dukungan integritas dan kapasitas KPK akan menjadi model pemberantasan korupsi yang menjadikan masyarakat sebagai agen
pembangunan hukum. Budaya hukum yang kuat dengan optimalnya integritas dan kapasitas aparat KPK akan mendorong penguatan pemberantasan korupsi di Indonesia.