Yudhie Haryono Presidium Forum Negarawan
Jpnindonesia.com Jakarta-Apa yang kita idealkan? Masyarakat pancasilais. Bagaimana bentuknya? Pentagon (segi lima sama kaki). Apa itu masyarakat pancasila yang pentagonis? Mari kita telaah pelan-pelan.
Kita telah berbicara banyak tentang Pancasila, bahkan dalam setiap napas dan janji kenegaraan Infonesia. Namun, apakah kita sudah benar-benar menjadi “Masyarakat Pancasilais?; Apakah Pancasila masih menjadi dekorasi simbolik?; Apakah sudah menjadi fondasi masyarakat yang adil, sejahtera dan bermartabat?”
Pertanyaan ini menuntut kita untuk meninjau kembali pemahaman tentang masyarakat yang berpancasila. Sebuah masyarakat yang tidak sekadar mengucapkan sila-sila itu, tetapi membumikannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang mematrialisasikan dalam semua dimensi kehidupan bahkan kematiannya.
Apa itu Masyarakat Pancasilais?
Masyarakat Pancasilais adalah masyarakat yang menjadikan lima silanya sebagai landasan dalam setiap aspek kehidupan: dari interaksi sosial hingga pengambilan kebijakan. Mengapa begitu? Karena Pancasila adalah etos, karakter dan mental kebangsaan yang harus meresapi setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Maka, berlakulah bentuk masyarakat yang bertuhan, berkemanusiaan, berpersatuan, bergotong-royong, berkeadilan sosial yang mematrialisasilan aksi perlindungan, pencerdasan, penyejahteraan dan pentertiban. 5 nilai yang diikat oleh 4 sikap. Pentagonis!
Namun, apakah etos ini benar-benar hidup di tengah masyarakat? Saat ini, kita melihat banyak kegaduhan sosial dan ketidakadilan yang justru mengindikasikan hilangnya esensi Pancasila dari keseharian kita.
Membumikan Nilai-Nilai Pancasila!
Membumikan Pancasila tidak boleh hanya menjadi slogan pemerintah dalam pidato resmi. Ia harus menjadi misi kolektif kita sebagai warga negara. Soekarno sendiri berulang-kali mengingatkan bahwa Pancasila bukanlah alat propaganda belaka, melainkan pedoman hidup yang dinamis. Tetapi kenyataannya, Pancasila sering kali menjadi sekadar doktrin formal tanpa upaya nyata untuk menjadikannya alat pembentuk karakter masyarakat.
Di sini pentingnya kita berbicara tentang kurikulum pendidikan yang juga Pancasilais. Kita perlu merubah paradigma kita tentang pendidikan. Kurikulum pendidikan harus dipandang sebagai “the battle of sovereignty” (pertempuran kedaulatan). Hal ini karena di ranah inilah kita merancang benteng ideologi bangsa.
Bangsa dan negara ini harus terus diingatkan dan dididik dalam ajaran Pancasilais. Ini adalah amanat UUD’45 di mana negara harus “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tidak saja cerdas, tetapi juga ideologis dan berkarakter.
Tesis maha penting ini hadir karena saat ini kita menjauh dari karakter Pancasilais. Tidak percaya? Mari kita cek fakta. Gotong royong, adalah inti dari sila ketiga, Persatuan Indonesia. Gotong royong adalah praktek kolektif yang tidak mengenal batas-batas egoisme individu. Namun, kenyataan pahit yang kita hadapi sekarang adalah banyaknya elit dan penguasa yang lebih memilih “gotong nyolong”—kerjasama untuk kepentingan pribadi dan kelompok daripada untuk kesejahteraan bersama. Ini fakta dan nyata.
Kesejahteraan yang Berkeadilan.
Masyarakat Pancasilais juga berarti masyarakat yang berjuang untuk kesejahteraan yang berkeadilan. Soekarno dengan jelas menggambarkan visi Indonesia yang adil dan makmur dalam sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ia tidak berbicara tentang kemakmuran dan kesentosaan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Namun, realitasnya adalah kita masih melihat ketimpangan yang mencolok—baik dalam hal kekayaan, akses pendidikan, maupun layanan kesehatan.
Jika kita mengaku sebagai masyarakat Pancasilais, maka sudah semestinya mendorong kebijakan ekonomi yang berkeadilan. Kesejahteraan tidak boleh hanya menjadi milik mereka yang berada di pusat kekuasaan ekonomi, melainkan harus dinikmati oleh seluruh warga negara. Inilah esensi dari keadilan sosial yang harus kita perjuangkan. Kita realisasikan. Kita petagonkan.
Masyarakat Demokratis, Toleran, dan Martabatif.
Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga soal bagaimana kita menghargai proses musyawarah mufakat dan perbedaan pendapat. Para pendiri republik mengingatkan bahwa “Pancasila harus menjadi roh demokrasi kita.” Namun, demokrasi di negeri ini seringkali terjebak dalam kontestasi politik yang mengabaikan prinsip-prinsip musyawarah.
Demokrasi yang Pancasilais adalah demokrasi yang menghargai setiap suara, baik mayoritas maupun minoritas, dan menjunjung tinggi martabat manusia. Demokrasi konsensual, bukan votingual. Demokrasi majlis, bukan parpol. Demokrasi kemanusiaan dan semesta, bukan parsial.
Selain itu, toleransi harus menjadi ciri utama masyarakat Pancasilais. Di tengah pluralitas agama, suku dan budaya, kita harus merayakan perbedaan, bukan menjadikannya alasan untuk memecah belah. Sebagai masyarakat Pancasilais, kita harus menegaskan bahwa bhinneka tunggal ika bukan sekadar semboyan, tetapi prinsip hidup yang harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan kita sehari-hari.
Membangun Kembali Esensi Pancasila.
Sudah saatnya kita merefleksikan apakah benar-benar menjalani hidup sebagai masyarakat berpancasila atau belum. Ia bukan hanya sekadar slogan, tapi menjadi prinsip dasar yang membentuk karakter bangsa kita. Pancasila bukanlah warisan masa lalu yang patut disimpan di museum, tetapi harus menjadi ideologi yang hidup dan terus diperjuangkan di setiap jengkal tanah-air-udara kehidupan kita.
Kata jenderal Soedirman (1946), “jika Pancasila mati di republik kita, maka negara dan tentara rakyat tidak ada.” Kini, pertanyaan provokatifnya: apakah membiarkan Pancasila mati perlahan, atau kita bangkit membumikan kembali ideologi ini dalam keseharian kita? Jelas pilihannya bangkitkan, hidupkan dan menangkan oleh kita semua.(*)