Wilfridus Yons Ebit Wakil Ketua Bidang BAPILU PEDAGANG PEJUANG INDONESIA RAYA DAN KETUA DPD PEDAGANG PEJUANG INDONESIA RAYA NTT

Jpnindonesia.com Jakarta-Menakar Efektivitas Reshuffle: Solusi atau Sekadar Dagelan Demokrasi?
Wacana reshuffle kabinet kembali mencuat seiring evaluasi 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran. Seperti sebuah kapal besar yang mulai kehilangan keseimbangan, pemerintah berusaha menata ulang beban di atas geladak agar tetap dapat berlayar dengan stabil. Namun, pertanyaannya tetap sama: apakah reshuffle ini benar-benar sebuah langkah strategis untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan, atau sekadar upaya menjaga keseimbangan politik agar kapal tidak oleng?

Reshuffle: Evaluasi Kinerja atau Manuver Politik?

Dalam teori administrasi publik, reshuffle kabinet seharusnya berfungsi sebagai mekanisme
penyegaran yang berbasis evaluasi kinerja. Menteri yang tidak mampu memenuhi target
nasional sepatutnya diganti dengan individu yang memiliki kapasitas lebih tinggi. Namun, dalam
praktiknya, realitas politik sering kali mengubah fungsi reshuffle menjadi lebih mirip permainan
catur, di mana setiap pergantian menteri bukan sekadar persoalan kompetensi, tetapi juga
strategi mempertahankan kekuasaan.

Berbagai studi dalam ilmu politik menunjukkan bahwa di negara dengan sistem presidensial
multipartai seperti Indonesia, reshuffle sering kali lebih berorientasi pada keseimbangan koalisi
ketimbang evaluasi kinerja. Alih-alih sebagai instrumen reformasi birokrasi, reshuffle justru lebih sering berperan sebagai alat tawar-menawar di antara elite politik. Dengan demikian, reshuffle bukan lagi sekadar langkah teknokratis, tetapi juga sebuah arena negosiasi yang sarat
kepentingan.

Stabilitas Politik dan Efektivitas Pemerintahan
pemerintahan memerlukan stabilitas agar dapat berfungsi dengan baik. Dalam banyak kasus,
reshuffle menjadi alat untuk meredam gejolak politik dan memastikan semua aktor dalam
koalisi tetap berada dalam satu barisan. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah
stabilitas yang dibangun benar-benar menghasilkan efektivitas pemerintahan, atau justru membuat kebijakan publik semakin kompromistis dan kurang berorientasi pada kepentingan rakyat?

Dari perspektif tata kelola pemerintahan, reshuffle akan efektif hanya jika berbasis pada
meritokrasi dan dilakukan dengan pertimbangan rasional terhadap kebutuhan negara. Jika
sekadar mengakomodasi kepentingan elite politik, reshuffle berpotensi menjadi sekadar ritual berkala tanpa dampak substansial terhadap kinerja birokrasi.

Belati dalam Selimut: Tantangan dalam Mewujudkan Janji Kampanye Sejak awal, pemerintahan Prabowo-Gibran dihadapkan pada ekspektasi tinggi terkait percepatan pembangunan dan reformasi birokrasi. Berbagai janji kampanye, mulai dari ketahanan pangan hingga transformasi digital, menjadi tolok ukur keberhasilan mereka di mata publik.Hal ini selaras dengan hasil Survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa 80,9 persen rakyat puas terhadap pemerintahan Prabowo Subianto di 100 hari pertamanya. Capaian Prabowo ini mengalahkan kinerja Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang cuma mampu meraih 65 persen dalam 100 hari pertama kerjanya. Namun, Prabowo menekankan bahwa dia bekerja bukan untuk mencari penilaian yang baik, tetapi demi memberikan yang terbaik untuk rakyat. Sayangnya, capaian tersebut tidak selalu sejalan dengan kinerja para menteri di kabinetnya. Beberapa sektor strategis seperti di sektor energi, investasi, dan reformasi birokrasi masih menghadapi hambatan. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa beberapa menteri tidak
cukup progresif dalam mengeksekusi program prioritas, menciptakan ketimpangan antara visi
besar presiden dengan realisasi di lapangan.

Jika reshuffle dilakukan tanpa mempertimbangkan kompetensi dan hanya berorientasi pada kepentingan koalisi, maka bukan tidak mungkin kinerja kabinet akan semakin tersendat, dan janji kampanye yang ambisius akan sulit terwujud. Jika pemilihan menteri lebih didasarkan pada pertimbangan politis daripada kapabilitas teknokratis, maka janji-janji kampanye yang ambisius akan sulit terwujud. Tantangan terbesar bagi Prabowo bukan hanya mengamankan loyalitas politik, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan sekadar menjaga harmoni di antara elite politik yang berkuasa.

Implikasi bagi Pemerintahan Prabowo
Jika Prabowo ingin menjadikan reshuffle sebagai langkah reformasi nyata, maka transparansi
dan akuntabilitas harus menjadi fondasi utama dalam menentukan siapa yang bertahan dan
siapa yang harus diganti. Partisipasi publik dan kajian berbasis data harus menjadi kompas
dalam menentukan arah kebijakan, bukan sekadar pertimbangan elektoral dan politik
transaksional.

Sebaliknya, jika reshuffle hanya menjadi bagian dari negosiasi politik tanpa mempertimbangkan
efektivitas pemerintahan, maka publik akan semakin skeptis terhadap komitmen pemerintah
dalam menjalankan tata kelola yang baik. Pada akhirnya, reshuffle bisa menjadi peluang emas
bagi Prabowo untuk memperkuat pondasi pemerintahannya, atau sekadar episode lain dalam drama politik yang terus berulang.

By MayaJPN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *