Catatan Hukum Untuk Masyarakat :

Oleh :
Dr. Nicholay Aprilindo, S.H.,M.M
.

Jpnindonesia.com Jakarta-

I. Pendahuluan :

Hukum Acara Pidana merupakan sebuah lembaga praperadilan yang tidak terpisahkan dari Peradilan.

Dalam hal kelahiran Praperadilan. Lembaga Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang Perkara pokoknya disidangkan. Konsep praperadilan pada hakekatnya adalah suatu proses perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kaitannya dengan penggunaan upaya paksa oleh para penegak hukum.
Melalui lembaga praperadilan inilah akan dinilai kelayakan proses penggunaan upaya paksa dengan tata cara yang ditentukan undang-undang.

Didalam Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera.
Kewenangan Pengadilan Negeri dalam penanganan praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 Angka 10 KUHAP yang menegaskan bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Bahwa didalam sistem peradilan pidana Indonesia terdapat beberapa permasalahan yang terjadi, antara lain perubahan fungsi penentuan sah atau tidaknya barang bukti. Karena awal dan tahap suatu perkara diawali dengan adanya tersangka, maka putusan tersangka harus didasarkan pada bukti yang kuat. Namun, penetapan tersangka sebagai tersangka tanpa bukti melanggar hak asasi tersangka dan ada kemungkinan dilakukannya pemeriksaan secara sewenang-wenang.

Seiring dengan perkembangan zaman dan permasalahan yang ada, maka kewenangan praperadilan telah mengalami perluasan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU/XII/2014 yang diputus tanggal 28 April 2015 dengan menambah kewenangan praperadilan dari yaitu :

  1. Memeriksa sah tidaknya penetapan tersangka;
  2. Memeriksa sah tidaknya penyitaan;
  3. Memeriksa sah tidaknya penggeledahan.

Tulisan ini memfokuskan pada pemeriksaan sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan dalam praperadilan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana telah mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan, sehingga majelis hakim tidak bisa secara subjektif memvonis terdakwa.
Bahwa untuk mendapatkan suatu barang bukti, maka diperlukannya sebuah upaya oleh penyidik untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan tersangka, penyitaan adalah perbuatan hukum yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan untuk secara sah menguasai barang bergerak dan barang tidak bergerak yang diduga mempunyai hubungan erat dengan tindak pidana.
Hal ini termuat dalam Pasal 1 Angka 16 KUHAP yang berbunyi:“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan penuntutan dan peradilan”.

Dalam hal Penyitaan menjadi objek praperadilan karena tindakan penyitaan bersamaan dengan penetapan status seseorang sebagai saksi atau tersangka atau terdakwa.
Bahwa apabila didalam putusan Pra Peradilan Hakim menyatakan penetapan status tersangka, atau penangkapan dan penahanan berdasarkan putusan praperadilan tidak sah, maka benda sitaan juga haruslah dinyatakan tidak sah dan harus segera dikembalikan kepada yang berhak.

Hal ini selaras dengan prinsip hukum dalam penyitaan yaitu benda yang dapat disita menurut undang-undang (KUHAP) hanya benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana.
Jika suatu benda tidak ada kaitan atau keterlibatan dengan tindak pidana, terhadap benda-benda tersebut tidak dapat diletakkan sita.
Oleh karena itu, penyitaan benda yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dianggap merupakan penyitaan yang bertentangan dengan hukum dan dengan sendirinya penyitaan tidak sah.

II. Pembahasan :

Sesuai dengan teori akibat hukum, akibat hukum yang dimaksud аdаlаh :

  • Akibаt hukum berupа lаhirnyа, berubаhnyа, аtаu lenyаpnyа suаtu keаdааn hukum tertentu
  • Akibаt hukum berupа lаhirnyа, berubаhnyа, аtаu lenyаpnyа suаtu hubungаn hukum tertentu.

Akibat hukum yang ditimbulkan merupakan konsekuensi dari adanya penyitaan dan penggeledahan yang dilakukan secara tidak sah, maka penyidik harus mengembalikan barang bukti yang ada.

Ada 4 (empat) aspek yang seharusnya menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu Perkara, yaitu sebagai berikut:

  1. Aspek Yuridis dan dasar hukum merupakan aspek paling utama dan pertama dengan bertolak ukur kepada peraturan perundangan yang berlaku.
  2. Hakim dalam mengambil keputusan harus mengimplementasikan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 27 UUD 1945, Pasal 77 JIS Pasal Pasal 1 angka 10, Pasal 1 angka 16, Pasal 1 angka 17, Pasal 18 ayat (3), Pasal 32, Pasal 33, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 75, Pasal 82 ayat (3) huruf d ,Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 130, Pasal 131Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 16 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), Pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013 tanggal 30 Januari 2013, Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dan peraturan perundang-undangan lainnya, dan dasar hukum yang digunakan merupakan dasar hukum yang mencakup pra-peradilan.
  3. Aspek sosiologis yakni dimana merujuk kepada nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat. Hakim memasukan aspek sosiologis dalam bentuk pertimbangan tersebut. Sebagai salah satu contoh yurisprudensi adalah pada putusan kasus Perkara Nomor 1/Pid.Pra/2020/PN Tlk. Berikut lebih dalamnya: Hakim berpendapat sudah menjadi hak asasi Pemohon atau keluarganya atau si tergeledah untuk menerima turunan berita acara Penggeledahan atas tindakan penggeledahan yang dialaminya dalam waktu 2 (dua) hari sejak penggeledahan yang mana sebagai bentuk perlindungan maupun jaminan terhadap Pemohon atas dilakukannya Penggeledahan terhadap rumahnya, oleh karena itu tindakan pemohon yang tidak menyerahkan turunan Berita Acara Penggeladahan dalam waktu 2 (dua) hari sejak penggeledahan tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (5) KUHAP, oleh karena itu Hakim berpendapat tindakan penggeledahan tersebut tidak sah dan tidak berkekuatan hukum.
  4. Aspek filosofis yang berintikan kepada kebenaran dan keadilan ini menggambarkan semangat/roh lahirnya perundangan yang digunakan. Dalam memutus suatu perkara, hakim telah memenuhi unsur yuridis, sosiologis, dan filososofis yang diterapkan secara proporsional dan dapat seimbang. Sehingga dapat disimpulkan dalam pertimbangan hakim dengan memperhatikan dan menerapkan dengan nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik.

III. KEWENANGAN IZIN PENYITAAN :

Pasal 38 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) mengatur tentang penyitaan dengan surat izin. Berikut adalah detailnya ¹:

  • Pasal 38 Ayat 1: Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
  • Pasal 38 Ayat 2: Dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyitaan terlebih dahulu tanpa harus meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri, khusus untuk benda bergerak. Setelah itu penyidik wajib melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk memperoleh persetujuannya.
  • Perlu diingat bahwa Pasal 38 KUHAP bertujuan untuk memastikan proses penyitaan dilakukan secara sah dan terkendali.

Selanjutnya tentang kewenangan izin penyitaan berdasarkan ketentuan Pasal 38 KUHAP tersebut, maka yang berwenang mengeluarkan izin penyitaan hanyalah Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Logika hukumnya adalah :

  1. Berdasarkan ketentuan pada pasal 38 KUHAP tersebut selain Ketua Pengadilan Negeri tidak diberikan kepada pejabat hukum lainnya seperti wakil Ketua Pengadilan Negeri untuk mengeluarkan izin penyitaan.
  2. Walaupun izin dikekuarkan oleh wakil ketua pengadilan negeri tertera stempel atau cap Pengadilan Negeri, maka izin penyitaan tersebut tidak sah secara hukum dan bertentangan pasal 38 KUHAP. Karena apabila berdasarkan hanya pada stempel atau cap pengadilan negeri suatu penyitaan dianggap sah, maka tidak tertutup kemungkinan dapat terjadi penyalahgunaan kewenangan (Abuse of Power) terhadap kewenangan Penyitaan yang menjadi wewenang Ketua Pangadilan Negeri, artinya bahwa Wakil ketua atau Kepala Panitera pun dapat menggunakan stempel atau cap Pengadilan mengatas namakan Ketua Pengadilan tanpa wewenang dan haknya secara hukum, dan produk hukum berupa izin penyitaan yang dikeluarkan cacat hukum dan atau tidak sah secara hukum.
  3. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU tersebut.
  4. Adapun Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan UU No. 12/2011, yaitu :
  5. Undang-Undang Dasar 1945
  6. Ketetapan MPR
  7. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  8. Peraturan Pemerintah
  9. Peraturan Presiden
  10. Peraturan Daerah Provinsi
  11. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung

  • Bukan Bagian dari Hierarki : SEMA tidak termasuk dalam daftar hierarki peraturan perundang-undangan di atas.
  • Tujuan SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung umumnya digunakan untuk memberikan petunjuk atau pedoman pelaksanaan bagi hakim atau internal lembaga Mahkamah Agung.
  • Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang membahas tentang penyitaan adalah SEMA Nomor 7 Tahun 2012. Dalam SEMA ini, salah satu poin yang dibahas terkait penyitaan adalah mengenai putusan praperadilan tentang penyitaan. Menurut pleno dalam SEMA ini, penyitaan yang sah akan diputuskan bersamaan dengan pemeriksaan dalam pokok perkara. Selain itu, Pasal 82 KUHAP menyebutkan bahwa jika putusan menetapkan benda yang disita tidak termasuk alat pembuktian, maka benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau pihak yang benda itu disita.

Terkait Penyitaan dalam SEMA No. 7/2012

  • Penyitaan dalam Praperadilan : Putusan praperadilan tentang penyitaan akan diputuskan bersamaan dengan pemeriksaan pokok perkara.
  • Pengembalikan Benda Sitaan : Jika benda yang disita tidak termasuk alat bukti, maka harus dikembalikan kepada tersangka atau pihak yang benda itu disita.
  • Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2012, wewenang mengeluarkan izin penyitaan adalah:
  • Ketua Pengadilan Negeri : Berwenang mengeluarkan izin penyitaan.

SEMA No. 7 Tahun 2012 bertujuan untuk memberikan pedoman tentang proses penyitaan dan memastikan bahwa proses tersebut dilakukan secara sah dan terkendali.

IV. PUTUSAN MK NOMOR 21/PUU-XII/2014 PENYITAAN DAPAT MENJADI OBYEK PRA PERADILAN

Bahwa Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penyitaan barang bukti dalam hukum acara pidana memberikan beberapa implikasi penting. 
Putusan MK, khususnya Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, menegaskan bahwa penyitaan, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, dapat menjadi objek praperadilan, ini berarti bahwa seseorang yang merasa dirugikan oleh tindakan penyitaan yang tidak sah dapat mengajukan praperadilan untuk menguji keabsahan tindakan tersebut. 

Hal Penting Terkait Putusan MK tentang Penyitaan Barang Bukti adalah :

  1. Penyitaan Sebagai Objek Praperadilan:

Putusan MK menegaskan bahwa penyitaan, termasuk tindakan penggeledahan dan penetapan tersangka, dapat diuji melalui mekanisme praperadilan. 

  1. Hak Uji Keabsahan:

Putusan ini memberikan hak kepada pihak yang merasa dirugikan untuk menguji keabsahan tindakan penyitaan oleh penyidik melalui praperadilan. 

  1. Perlindungan Terhadap Hak Asasi:

Tujuan utama dari putusan ini adalah untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia dengan memastikan bahwa tindakan penyitaan dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. 

  1. Penyitaan yang Melanggar Hukum:

Jika penyitaan dilakukan tanpa memenuhi syarat formal dan materiil yang diatur dalam KUHAP dan ditegaskan oleh putusan MK, maka penyitaan tersebut dapat dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. 

  1. Akibat Hukum Penyitaan Tidak Sah:

Jika penyitaan dinyatakan tidak sah, maka barang bukti yang disita harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan tindakan penyitaan selanjutnya yang didasarkan pada penyitaan yang tidak sah tersebut juga batal demi hukum. 

  1. Implikasi Putusan MK:
  • Meningkatkan Pengawasan:

Putusan MK tentang penyitaan sebagai objek praperadilan mendorong adanya pengawasan terhadap tindakan penyidik dalam proses penyitaan. 

  • Mendorong Kepatuhan Hukum:

Putusan ini diharapkan dapat mendorong penyidik untuk lebih berhati-hati dan patuh terhadap prosedur hukum dalam melakukan penyitaan. 

  • Memberikan Kepastian Hukum:

Putusan MK memberikan kepastian hukum bagi pihak yang merasa dirugikan akibat penyitaan yang tidak sah, sehingga mereka dapat menuntut haknya melalui mekanisme praperadilan. 

  • Contoh Kasus :
  • Pengadilan Negeri (PN) Tulungagung mengabulkan sebagian permohonan praperadilan dan menyatakan bahwa penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tidak sah, serta memerintahkan pengembalian barang bukti yang disita.
  • Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2020/PN Tlk. 

Dengan adanya putusan MK Nomor : 21/PUU-XII/2014, Maka mekanisme praperadilan menjadi sarana penting untuk menguji keabsahan penyitaan dan melindungi hak asasi manusia dalam proses hukum pidana. 

Bahwa didalam pustaka hukum suatu akibat hukum dikenal dengan tiga macam yaitu:

  1. Akibat hukum lahir, berubah, ataupun lenyapnya sebuah keadaan hukum.
  2. Akibat hukum berupa lahir, berubah dan lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua atau beberapa subjek hukum.
  3. Akibat hukum berupa timbulnya sanksi atau hukuman. Penyitaan dirumuskan dalam Pasal 1 butir ke-16 KUHAP, yang berbunyi: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (KUHAP, Pasal 1 butir 16).
  4. Dalam Pasal 39 KUHAP disebutkan bahwa :

(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a.Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b.Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c.Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; d.Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana; e.Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda-benda yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan terjadinya suatu tindak pidana.
Jadi, apabila ada benda yang sempat diambil oleh penyidik, namun ternyata tidak berhubungan dengan tindak pidana, maka benda tersebut harus segera dikembalikan kepada orang yang berhak.

Contoh kasus dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2020/PN Tlk tersebut, barang bukti yang disita oleh Penyidik telah diputuskan tidak sah karena tidak berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon, maka secara legalitas, barang bukti yang disita tidak memenuhi Pasal 39 KUHAP;

Akibat hukum dari penyitaan yang tidak sah, maka pengembalian barang sitaan harus sesuai dengan peraturan prundangan seperti pada Pasal 82 ayat (3) huruf d UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.

V. Kesimpulan :

Bahwa berdasarkan uraian diatas, maka tidak ada alasan bagi aparatur Penegak hukum Polisi, Jaksa, dan khususnya Hakim menolak Pra Peradilan yang berhubungan dengan Penggeledahan dan khususnya dalam Penyitaan.
Hakim dalam menutus suatu perkara harus menggali hukum secara filosofis dan sosiologis yang berkembang dimasyarakat, selain putusan-putusan yuridis yang menjadi yurisprudensi, yang dilandasi oleh Kebenaran dan Keadilan, sehingga tidak menimbulkan putusan yang sesat serta merugikan pencari keadilan, karena hukum dan hak asasi manusia (HAM) Itu dinamis, tidak statis.

VI. REFERENSI :

  • Andi Hamzah and RM Surachman, Pre-Trial Justice Dan Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Cet. I (Jakarta: Sinar Grafika, 2014).
  • Arif Salasa, ‘PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN’, Lex Privatum, 6.3 (2016), 82–89.
  • Maskur Hidayat, ‘Pembaruan Hukum Terhadap Lembaga Praperadilan Melalui Putusan Pengadilan’, Yuridika.
  • Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
  • Tristam P. Moeliono, ‘Asas Legalitas Dalam Hukum Acara Pidana: Kritikan Terhadap Putusan Mk Tentang Praperadilan’, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 22.4 (2015), 594–616 https://doi.org/10.20885/iustum.vol22.iss4.art4.
  • Yati Nurhayati, 2020, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Nusa Media.

By MayaJPN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *