Jpnindonesia.com Jakarta-Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban (PP DBK) Masih Jauh Dari Menjamin Penanganan dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

Tiga tahun telah berlalu dan kami mengapresiasi upaya dan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, kami menilai bahwa perumusan PP DBK mengabaikan masukan dari masyarakat sipil, termasuk para pendamping korban. JMS telah menyuarakan bahwa mandat PP DBK yang berkaitan dengan pasal restitusi di UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual masih belum lengkap. Masyarakat sipil memiliki pandangan berbeda terkait prinsip dasar dan penanganan dana bantuan korban yang komprehensif dan inklusif. PP ini bertentangan dengan usaha dan harapan agar DBK menjadi terobosan dalam penggalangan dan pengelolaan dana abadi (trust fund) yang bermanfaat optimal dalam setiap tahapan penanganan dan pemulihan korban dan penyintas.

Secara khusus kami menyoroti beberapa hal ini:

  1. PP yang mengacu penuh kepada tata kelola restitusi kurang bayar (Pasal 7) ini menyebabkan akses ke Dana Bantuan Korban hanya dapat dimanfaatkan oleh kasus yang menempuh jalur hukum (litigasi). Hal ini mengharuskan adanya pelaporan kepada Aparat Penegah Hukum (APH) dan penetapan tersangka terlebih dahulu sebelum korban berpeluang untuk mendapatkan haknya. Bahkan bagi korban dan penyintas yang berada di luar negri, peraturan perundangan setempat dapat menghalangi diperolehnya DBK (Pasal 19). Keadaan inilah yang sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip dasar Dana Bantuan Korban yaitu kemudahan akses bagi korban.

Peran Pendamping hilang dalam PP DBK. UU TPKS menegaskan pentingnya saksi atau pendamping. Namun demikian, PP DBK tidak menyebutkan ataupun sinkron dengan peraturan turunan lainnya yang memungkinkan pendamping yang juga mengalami tekanan dan kekerasan untuk mendapatkan akses dan dukungan pendanaan dalam proses pendampingan korban.

Mekanisme pendanaan DBK, sangat tergantung kepada ketersediaan dana (Pasal 14) baik ganti rugi dari pelaku atau dari pemerintah. Hal ini menciptakan ketidakpastian bagi korban tentang proses dan prosedur. Siapa yang mendanai ini apabila pelaku tidak mampu? PP ODBK tidak menjelaskan sumber anggaran negara yang dimaksud dalam UU TPKS maupun mekanisme alokasinya. Padahal, kejelasan pendanaan negara penting untuk memastikan dukungan finansial yang stabil.

Wewenang Implementasi PP DBK sebaiknya adalah antar lembaga pemerintahan, bukan di satu lembaga saja. Penanganan korban kekerasan seksual adalah proses yang sangat kompleks. Ini tidak hanya mencakup aspek finansial, tetapi juga medis, psikologis, hukum, dan sosial. Kami mengapresiasi perluasan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam PP DBK. Namun demikian, pemusatan pengelolaan DBK di LPSK adalah tantangan baru dalam memastikan adanya mekanisme dan struktur yang komprehensif, inklusif, dan berperspektif korban. LPSK harus bertransformasi dengan cepat agar unit khusus yang dimaksud tidak hanya tersedia di tingkat nasional namun juga di daerah dimana korban, penyintas dan para pendamping berada.

Lemahnya mandat penguatan koordinasi antar K/L terkait penanganan korban. Melanjutkan soal LPSK di atas, apakah memang visible tugas ini hanya diberikan pada LPSK saja. Bagaimana dengan koordinasinya bersama lembaga terkait, seperti UPTD PPA, Kepolisian, Kejaksaan, KPPPA dan lainnya. Dengan rumusan saat ini, JMS melihat bahwa PP DBK berpotensi luas untuk semakin menutup atau membatasi akses korban dan penyintas. Pada laporan tahun 2024 LPSK mencatat bahwa perlindungan darurat, yang didominasi oleh kasus kekerasan seksual, mengalami penurunan jumlah walaupun secara keseluruhan ada peningkatan pelaporan kasus (10.217 kasus)!. Para pendamping juga mendokumentasikan bahwa jumlah korban dan saksi yang mau dan layak menjadi terlindung LPSK sangat sedikit jumlahnya. Tidak hanya disebabkan oleh keengganan, namun keberadaan dan jangkauan LPSK yang terbatas menjadi kendala yang sudah dapat diprediksi akan mempengaruhi keefektifan dan efisiensi implementasi.

Pemahaman APH, Penyidik atau JPU yang belum optimal soal UU TPKS dan PP DBK menyebabkan penyelesaian persoalan dana bantuan korban juga masih sulit dilakukan.

Mekanisme pengawasan publik terhadap sumber pendanaan tidak diatur dalam PP ini. Perlu diwaspadai ketiadaan aturan pengawasan publik dalam PP terkait etika sumber dana, terutama CSR yang berpotensi berasal dari industri merusak atau perusahaan pelanggar HAM.

Dengan masih belum tepatnya substansi dalam PP DBK bagi kepentingan korban dan penyintas kekerasan seksual, kami menuntut:

@ Pemerintah melihat kembali mandat UU TPKS dan melaksanakan mekanisme dana bantuan

korban yang lebih relevan seperti usulan awal pengelolaan dana abadi (trust fund) yang komprehensif bagi korban litigasi atau non-litigasi.

Membangun suatu Satgas atau lembaga koordinasi antar K/L, yang dapat memaksimalkan upaya pemerintah dalam “memfokuskan upaya penyediaan dan pengelolaan dana bagi penanganan kasus kekerasan seksual yang inklusif, transparan dan tepat sasaran: dapat diakses oleh korban dan para pendampingnya secara mudah: dan membangun akuntabilitas publik yang berstandar tinggi”. Terkait dengan poin ini, maka JMS memberikan tekanan agar aturan teknis yang dihasilkan dari PP No. 29 tahun 2025 ini difokuskan kepada “penguatan kerja sama antara LPSK dengan Aparat Penegak Hukum – penyidik, Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan hakim.

Implementasi PP Diklat dan PP terkait lainnya untuk aparat penegakan hukum. Periu adanya koordinasi dengan aturan lainnya tentang pendidikan dan pelatihan yang lengkap tentang UU TPKS, sehingga seluruh DBK yang diajukan tidak hanya dapat diproses sesuai prosedur, tetapi juga diselesaikan dengan prinsip keadilan bagi korban dan penyintas.

By MayaJPN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *