Yudhie HaryonoPresidium Forum Negarawan
Jpnindonesia.com “Kejahatan terbesar di republik Indonesia adalah menyelingkuhi konstitusi,” demikian tesis guru Pontjo Sutowo siang itu menyampaikan ke penulis. Ya, siang itu kami bertemu di sela acara ulang tahun ke-14 organisasi Aliansi Kebangsaan. Bertemu dengannya selalu menarik karena ia terus semangat memikirkan nasib negara ini, walaupun nasibnya sudah sangat baik dibanding rakyat pada umumnya.
Kita memang telah berkonsensus menjadi negara Pancasila dan kebangsaan. Dalam pembukaan konstitusi dijelaskan bahwa negara pancasila adalah negara yang kemerdekaan kebangsaannya dalam suatu susunan kedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan paham kebangsaan merupakan pandangan, perasaan, wawasan, sikap dan perilaku suatu bangsa yang terjalin karena persamaan sejarah, nasib dan sepenanggungan plus cita-cita untuk hidup bersama-sama secara merdeka, mandiri, modern dan martabatif berbasis prestasi dan meritokrasi, bukan kesukuan, klan, fasisme dan feodalisme.
Pada negara pancasila berpaham kebangsaan, rakyatnya bertekad untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. Mereka terus menjadi, menuju dan bertekad selamanya bersatu. Mengkurikulumkan alat plus imajinasi dan tujuan dalam titik tolak, titik tumpu dan titik tuju secara bulat.
Tentu saja, negara pancasila yang kebangsaan menjadi anti komunisme, anti liberalisme dan anti nepotisme. Maka, siapapun yang tinggal di republik ini jika membangun ekopol KKN, ia anti pancasila dan anti kebangsaan. Ia menyelingkuhi konstitusi: ia penjahat negara. Ia layak dieksekusi mati. Itulah mengapa mereka yang pratik hal tersebut disebut perilaku kejahatan terbesar, menurut guru Pontjo Sutowo.
Dalam berbagai pidatonya, Presiden Prabowo menyampaikan seruan kebangsaan dan anti KKN. Membaca hal ini, kita tahu karena ia seorang prajurit. TNI memang menggembleng anggotanya agar menjadi agen negara yang patriotik, bermental “national interes” dan saptamargais. Yang jadi soal adalah, ia terpilih dengan peraturan yang berasal dari UUD hasil amandemen. Kita bisa menyebutnya UUD 2002. Satu UUD yang telah tercerabut dari pancasila dan paham kebangsaan.
Meminjam tesis Zulkifli (2024), “akibat langsung digantinya UUD’45 asli maka Indonesia berubah menjadi”: 1)Dari negara kesatuan menjadi negara federal; 2)Dari negara kebangsaan menjadi negara korporasi; 3)Dari negara berdasar hukum menjadi negara berdasar kekuasaan; 4)Dari negara berdasar ketuhanan yang maha esa menjadi berdasar keuangan yang maha kuasa; 5)Dari negara gotong-royong menjadi negara gotong-nyolong.
Kita tahu negara federal adalah negara yang tersusun dari beberapa negara yang berdiri sendiri lalu mengadakan ikatan yang efektif, sehingga terbentuk negara baru. Negara ini sejak awal punya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit federalnya. Tetapi bukan ini yang dituju para pendiri republik sebab pada prakteknya menyuburkan tumbuhnya raja-raja kecil yang feodalis dan KKN.
Indonesia juga bukan negara korporat di mana sistem pemerintahannya dikuasai berbagai perusahaan yang berdagang dan mencari untung semata. Pada negara ini sering hadir oligarki yang culas dan serakah. Tentu bukan ini cita-cita para pendiri republik Indonesia.
Kita juga bukan negara kekuasaan (machtstaat) di mana sistem pemerintahan dan kekuasaannya terpusat pada individu atau kelompok. Dalam negara kekuasaan, kehendak penguasa lebih diutamakan daripada hukum. Pada negara ini prinsip-prinsip demokrasi, keadilan sosial dan kedaulatan rakyat hilang.
Kita tahu negara berdasar keuangan adalah negara yang sebagian besar kegiatan ekopolnya diatur oleh mekanisme pasar liberal. Hasilnya hanya kesenjangan, keculasan dan keterbelahan rakyat. Tentu saja bukan ini cita-cita dan tujuan para pendiri republik Indonesia. Sebab, mereka republikan.
Indonesia juga bukan negara maling (kleptokrasi) di mana pemerintahannya dipimpin dan dikendalikan oleh sekelompok maling. Hasilnya di negara itu, pencuri menjadi bupati; garong menjadi gubernur; pencoleng menjadi menteri; koruptor menjadi elite partai politik; pembohong menjadi presiden. Negara model ini pasti dihindari oleh kita semua.
Agar lima model negara di atas tidak terjadi lagi, pilihannya adalah kembali ke konstitusi asli. Konstitusi yang menjamin tegaknya negara pancasila berpaham kebangsaan, berbentuk republik, berwajah majlis musyawarah plus berkedaulatan rakyat.
Bagaimana caranya? Meminjam tesis Prijanto (2022) adalah dengan mengeluarkan “dekrit presiden yang terkoordinasikan.” Ini adalah upaya mengatasi kegentingan negara yang disebabkan oleh pembelahan bangsa akibat sistem UUD 2002 dan “tergemboknya” MPR dan konstitusi hasil amandemen UUD 1945.
Singkatnya, semoga presiden Prabowo Subianto segera mengajak semua elemen bangsa kembali ke Pancasila dan UUD 1945 yang asli, karena keduanya adalah “roh dari wasiat suci” berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu juga agar negeri ini adil sentosa di segala ruang dan waktu.(*)