Diselenggarakan oleh Dewan Piminan Pusat Federasi Advokat Indonesia (DPP Ferari)


JPNINDONESIA.COM JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat Federasi Advokat Indonesia (DPP Ferari) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Disharmoni dan Overlapping Sebuah Peraturan Pemerintah?. Bertempat di Hotel Oakwood Suites Kuningan Jakarta Selatan, Senin (21/08/2023).

FGD ini menghadirkan 3 (tiga) orang begawan hukum Indonesia yang sudah tidak diragukan lagi kepakaran, kredibilitas dan integritasnya, yaitu: Dr. Hamdan Zoelva, SH., M.H (Ketua Mahkamah Konstitusi 2013-2016), Dr. Maruarar Siahaan, SH., MH (Hakim Mahkamah Konstitusi 20032008): serta Dr. Margarito Kamis, SH., M.Hum (Pakar Hukum Tata Negara).

FGD ini dihadiri sejumlah kalangan seperti Organisasi Advokat (Peradi, KAI, Peradin, dan IAI), Mahkamah Agung RI, Polri, Kejaksaan Agung RI, Lemhanas, Komisi Yudisial, Kementerian Keuangan, OJK, Bank Indonesia, Komnas HAM dan sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Bhayangkara, Unhan, Untirta dan lain-lain.

Penyelenggaraan FGD ini dilatarbelakangi lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PP No. 28/2022) yang secara substansi banyak melanggar hak asasi warga negara dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Lahirnya PP No. 28/2022 tersebut ditengarai akibat situasi ekonomi yang tidak menentu karena krisis global, sehingga mendorong Negara mengarahkan seluruh sumber dayanya untuk memastikan perkonomian Negara tidak terpuruk. Salah satunya dengan memaksimalkan pendapatan negara melalui penagihan Piutang Negara melalui instrumen PP No. 28/2022. Namun sayangnya instrumen tersebut berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang Negara yang berakibat pada terlanggarnya hak asasi warga negara.

Terdapat sejumlah permasalahan dalam PP No. 28/2022 sebagai berikut:

  1. PP No. 28/2022 bertentangan dan melampaui pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara. Sebagai peraturan delegasi harusnya PP tidak boleh mengatur melampaui UU yang mendelegasikannya, karena sesungguhnya PP itu merupakan aturan pelaksana dari UU. Hal ini jelas telah melanggar Pasal 5 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”’,
  2. PP No. 28/2022 melanggar asas dan prinsip dasar hukum keperdataan sebagaimana tertuang pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Sebagaimana diketahui PP No. 28/2022 memuat aturan yang memperluas subyek yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas Piutang Negara, tidak hanya Penanggung Utang dan/atau Penjamin Utang tetapi juga “Pihak yang Memperoleh Hak” termasuk keluarga dalam hubungan darah ke atas, ke bawah, atau ke samping sampai derajat kedua, dan suami/istri. Hal ini jelas bertentangan dengan KUH Perdata
    khususnya Pasal 1338, 1315 dan 1340 yang pada pokoknya mengatur suatu perikatan/perjanjian hanya sah berlaku bagi pihak-pihak yang membuat atau menandatanganinya. Oleh karena itu, suatu perikatan/perjanjian tidak dapat memberi keuntungan maupun berdampak kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut dalam membuat perikatan/ perjanjian tersebut. Selain itu, dalam hukum perdata, tidak dikenal adanya pertanggungjawaban utang sampai keluarga derajat kedua. Dalam hukum perdata utang hanya dapat diwariskan, akan tetapi PP No. 28/2022 telah mengabaikan hukum waris karena pewaris belum meninggalpun utang bisa ditagihkan ke ahli warisnya,
  3. PP No. 28/2022 memuat aturan tentang Paksa Badan, Tindakan Keperdataan (berupa pemblokiran rekening, deposito dll, tidak bolemh menerima kredit atau pembiayaan lainnya, tidak boleh menjadi pengurus di perusahaan dll) dan Tindakan Layanan Publik (berupa pencekalan, pencabutan Paspor, tidak bisa mendapatkan layanan administasi pemerintahan seperti pengurusan KTP, SIM, izin usaha, perpajakan dll). Aturan ini lebih berat dari sanksi pidana sekalipun. Oleh karenanya jelas melanggar Hak Asasi Manusia yang dijamin UUD NRI 1945. Selain
    itu, sesuai Pasal 28J UUD NRI 1945 jo. Pasal 70 dan 73 UU No. 39/1999 tentang HAM Pembatasan hak sebagaimana dimaksud hanya dapat ditetapkan dengan produk hukum Undang-Undang,
  4. Pasal 77 PP No. 28/2022 juga mengatur soal impunitas yang mengatur keputusan pejabat administrasi negara dalam pengurusan Piutang Negara tidak dapat dituntut secara hukum atau diajukan upaya hukum. Hal ini selain telah melanggar UU HAM jelas merusak prinsip negara hukum dan merusak penegakan hukum di Indonesia. Pasal ini jelas berdampak langsung pula bagi Advokat sebagai salah satu dari Penegak Hukum.

Demi tegaknya prinsip negara hukum dan tertib perundang-undangan, maka PP No. 28/2022 khususnya terhadap aturan-aturan sebagaimana disebutkan di atas sangat beralasan menurut hukum untuk dibatalkan

By MayaJPN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *